Daftar Laman

Kamis, 23 April 2015

SEKTOR PENGELUARAN MASYARAKAT



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perilaku pengeluaran yang dilakukan oleh sektor rumah tangga bisa dilakukan dengan membuat fungsi konsumsi dan fungsi tabungan, untuk melihat bagaimana perubahan pendapatan terhadap tingkat pengeluaran konsumsi dan tabungan. Kecenderungan bagi sektor rumah tangga untuk melakukan konsumsi disebut dengan Marginal Propensity to Consume (MPC). Sedangkan kecenderungan bagi sektor rumah tangga untuk melakukan tabungan disebut dengan Marginal Propensity to Save (MPS).
Uraian dalam makalah ini bertujuan untuk melihat dengan lebih mendalam lagi dan membuktikan bahwa tingkat kegiatan ekonomi bergantung kepada tingkat pengeluaran agregat yang dilakukan oleh seluruh golongan masyarakat dan dibahas penentuan tingkat kegiatan ekonomi dalam suatu perekonomian dua sector atau perekonomian sederhana. Tingkat kegiatan ekonomi dalam perekonomian yang lebih maju dan lebih rumit corak kegiatannya. Uraian ini menjelaskan mengenai bagaimana pengeluaran agregat akan menentukan tingkat kegiatan ekonomi dinamakan : analisa tingkat keseimbangan perekonomian Negara atau analisa penentuan tingkat pendapatan Nasional.

1.2. Tujuan
Adapun Tujuan dibuatnya sektor pengeluaran masyarakat tersebut adalah:
1.      Sebagai bentuk tanggung jawab mahasiswa atas tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah perekonomian indonesia.
2.      mengetahui apa yang dimaksud dengan pengeluaran konsumsi masyarakat
3.      Memahami lebih mendalam bagaimana Prilaku Konsumsi Masyarakat.
4.      Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan Pola Konsumsi Masyarakat
1.3. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sektor pengeluaran masyarakat pada perekonomian indonesia ?
2.      Apa itu pengeluaran konsumsi masyarakat ?
3.      Teori-teori apa saja yang terkandung dalam konsumsi masyarakat tersebut?
4.      Apa Pola Konsumsi Masyarakat ?
























BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengeluaran Konsumsi Masyarakat
Pengeluaran Konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel makroekonomi dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran, variabel ini lazim dilambangkan dengan dengan hurup C (Consumption). Pengeluran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatannya yang dibelanjakan. Bagian dari pendapatan yang tidak dibelanjakan disebut tabungan lazim dilambangkan dengan hurup S (Saving). Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat negara yang bersangkutan. Dilain pihak jika tabungan semua orang dalam suatu negara dijumlahkan hasilnya adalah tabungan masyarakat negara tersebut. Selanjutnya, tabungan masyarakat bersama-sama dengan tabungan pemerintah membentuk tabungan nasional. Dan tabungan nasional merupakan sumber dana investasi.
Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya. Secara makroagregat pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan nasional. Semakin besar pendapatan, makin besar pula pengeluaran konsumsi. Perilaku tabungan juga begitu. Jadi bila pendapatan bertambah, baik konsumsi maupun tabungan akan sama-sama bertambah. Perbandingan besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut kecenderungan untuk mengkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC). Sedangkan besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut kecenderungan untuk menabung (Marginal Propensity to Save, MPS). Pada masyarakat yang kehidupan ekonominya relatif belum mapan, biasanya angka MPC mereka relatif besar, sementara angka MPS mereka relatif kecil. Artinya jika mereka memperoleh tambahan pendapatan maka sebagian besar tambahan pendapatannya itu akan teralokasikan untuk konsumsi. Hal sebaliknya berlaku pada masyarakat yang kehidupan ekonominya sudah relatif lebih mapan.
Perbedaan antara masyarakat yang sudah mapan dan yang belum mapan antara negara maju dan negara berkembang bukan hanya terletak dalam atau dicerminkan oleh perbandingan relatif besar kecilnya MPC dan MPS, akan tetapi juga dalam pola konsumsi itu sendiri. Pola konsumsi masyarakat yang belum mapan biasanya lebih didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok atau primer. Sedangkan pengeluaran konsumsi masyarakat yang sudah mapan cenderung lebih banyak teralokasikan ke kebutuhan sekunder atau bahkan tersier.

2.2. Prilaku Konsumsi Masyarakat
Beberapa pandangan ahli mengenai perilaku konsumen antara lain :
1.      Istilah perilaku konsumen diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka (Schiffman dan Kanuk 1994)
2.      Perilaku konsumen merupakan tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dam menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. (Engel, Blackweel, dan Miniard; 1993)
3.      Perilaku konsumen merupakan proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan menghabiskan barang atau jasa. (Loudon dan Della-Bitta; 1984)
4.      Perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang dalam merencanakan, membeli, dan menggunakan barang-barang ekonomi dan jasa, disebut perilaku konsumen. (Winardi,1991)
5.      Perilaku yang dikaitkan dengan preferences dan possibilities adalah perilaku konsumen. (Deaton dan Muellbawer, 1986)
6.      Perilaku konsumen merupakan pengkajian dari perilaku manusia sehari-hari (Mullen dan Johnson, 1990)
Dari beberapa pandangan di atas dapat ditarik satu kesimpulan yaitu Perilaku Konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi.
Alokasi PDB dewasa ini semakin besar tergunakan untuk keperluan pembentukan modal atau investasi serta ekspor dan impor. Kenyataan ini tentu saja menggembirakan karena menandakan secara umum pendapatan masyarakat sudah mencukupi kebutuhan konsumsinya, sehingga terdapat kelebihan yang bisa ditabung untuk menjadi sumber dana investasi. Adalah beralasan untuk menyatakan bahwa harapan untuk menumbuhkan perekonomian cukup prospektif. Persoalannya kemudian ialah seberapa besar tabungan masyarakat kita telah mencukupi sasaran pertumbuhan perekonomian yang diinginkan. Pertumbuhan pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia rata-rata 6,5 persen per tahun selama dasawarsa 1970-an. Angka ini satu persen lebih rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata pengeluaran konsumsi masyarakat Malaysia untuk kurun waktu yang sama.
Akan tetapi, lebih tinggi daripada pertumbuhan rata-rata tahunan pengeluaran konsumsi masyarakat India dan Republik Rakyat Cina, masing-masing 2,9 dan 4,9 persen; bahkan juga dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi masyarakat Amerika Serikat (3,1%) dan jepang (4,7%). Dalam periode 1980-1993, pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia tumbuh setingkat satu ata-rata 4,4 persen per tahun, lebih rendah daripada india (4,7%) dan cina (7,9%) serta Malaysia (5,5%); namun lebih tinggi daripada amerika dan jepang. Angka-angka perbandingan ini beralasan untuk menjelaskan bahwa, sebagai Negara berkembang, Indonesia memiliki bekal kemandirian yang cukup mantap dalam menumbuhkan perekonomiannya. Hasil-hasil pembangunannya selama ini teralokasikan ke penggunaan yang produktif. Kemantapan bekal kemandirian dalam pembangunan tersebut dapat dikonfirmasikan melalui tinjauan pengeluaran konsumsi masyarakat berdasarkan proporsinya dalam pembentukan permintaan agregat (aggregate demand).
Penurunan proporsi pengeluaran konsumsi masyarakat dalam membentuk permintaan agregat menyiratkan dua hal. Pertama, peran tabungan masyarakat terahdap pendapatan nasional semakin besar. Kedua, peran sektor-sektor penggunaan lain dalam membentuk permintaan agregat semakin besar, khususnya sector pembentukan modal atau investasi dan sektor ekspor-impor.

2.3. Teori Konsumsi 
Pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi rumah tangga (household consumption/private consumption). Factor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, antara lain :
2.3.1.      Faktor Ekonomi
Empat faktor yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu :
a)      Pendapatan Rumah Tangga ( Household Income )
Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tongkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik.
b)      Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth )
Tercakup dalam pengertian kekayaaan rumah tangga adalah kekayaan rill (rumah, tanah, dan mobil) dan financial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat berharga). Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposable.
c)      Tingkat Bunga ( Interest Rate )
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin maha. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bankatau menggunakan kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik menunda/mengurangi konsumsi.
d)     Perkiraan Tentang Masa Depan (Household Expectation About The Future)
Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek masa depan rumah tangga antara lain pekerjaan, karier dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota keluarga yang telah bekerja. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain kondisi perekonomian domestic dan internasional, jenis-jenis dan arah kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah.
2.3.2.      Faktor Demografi
a.       Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relative rendah. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi.
b.      Komposisi Penduduk
Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara lain :
v  Makin banyak penduduk yang berusia kerja atua produktif (15-64
tahun), makin besar tingkat konsumsi. Sebab makin banyak penduduk
yang bekerja, penghasilan juga makin besar.
v  Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya juga
                 makin tinggi, sebab pada saat seseorang atau suatu keluarga makin
                 berpendidikan tinggi maka kebutuhan hidupnya makin banyak.
v  Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban),
                 pengeluaran konsumsi juga semakin tinggi. Sebab umumnya pola
                  hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif disbanding masyarakat
                pedesaan.

2.3.3.      Faktor-faktor Non Ekonomi
Factor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh  terhadap besarnya konsumsi adalah faktor social budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat/ideal.

2.4. Pola Konsumsi Masyarakat
Pola konsumsi dapat dikenali berdasarkan alokasi penggunaanya. Untuk keperluan analisis, secara garis besar alokasi pengeluaran  konsumsi masyarakat digolongkan kedalam dua kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk bukan makanan. Contoh pengeluaran makanan seperti; padia-padian, umbi-umbian dan lain sebagainya. Sedangkan yang pengeluaran yang bukan makanan contohnya; perumahan dan bahan bakar, anekabahhan dan jasa, biaya  pendidikan dan lain sebagainya.
Pengeluaran rata-rata orang kota selalu dua kali lipat pengeluaran orang desa. Perbandingan pola pengeluarannya juga demikian. Alokasi pengeluaran untuk makanan di kalangan orang desa lebih besar dibandingkan orang kota. Walaupun demikian, selama kurun waktu 1984-1993, alokasi pengeluaran untuk makanan di kedua kelompok penduduk ini sama-sama berkurang. Disamping itu semua, kenaikan pengeluaran orang kota sedikit lebih cepat / tinggi dibandingkan kenaikan pengeluaran orang desa. Diukur atas dasar harga yang berlaku atau secara nominal, sepanjang periode 1984-1993 pengeluaran penduduk perkotaan naik rata-rata 36,63% per tahun. Angka sejenis untuk penduduk perdesaan adalah 35,76%. Apabila diyakini pendapat umum bahwa tingkat harga di perkotaan biasanya naik lebih cepat daripada di daerah perdesaan, maka secara rill sesungguhnya kenaikan pengeluaran orang desa justru lebih tinggi daripada orang kota.
Lebih tingginya kenaikan pengeluaran penduduk perdesaan dibandingkan penduduk perkotaan harus dipahami secara hati-hati. Hal ini tidak berarti bahwa dibandingkan orang kota, orang desa menjadi lebih boros, kian konsumtif, atau semakin makmur. Mengingat jumlah pengeluaran yang menjadi basis pehitungan nilainya jauh lebih rendah untuk penduduk perdesaan, kenaikan pengeluaran yang lebih tinggi itu sesungguhnya arulah sekedar menggambarkancapaian orang-orang desa dalam upayanya untuk dapat hidup lebih baik. Capaian itu sendiri belum mampu mensejajarkan denganposisi kemakmuran orang kota. Penafsiran semacam ini masih tergolong sebagai penafsiran yang bernada optimistis. Kenaikan lebih tinggi pengeluaran penduduk perdesaan tadi dapat pula ditafsirkan dengan nada pesimistis. Yakni bahwa hal itu disebabkan karena orang-orang desa harus mengeluarkan lebih besar untuk mempertahankan tingkat hidup subsistennya, berkenaan dengan suku niaga (terms of trade) yang semakin buruk yang menimpa produk-produk primer dari desa (hasil bumi) dibandingkan dengan produk-produk sekunder dari kota (hasil industri).

2.5. Dimensi Ketimpangan Pengeluaran Konsumsi
Dalam uraian-uraian diatas, secara sambil lalu turut disinggung bagaimana prilaku dan pola pengeluaran konsumsi dapat berfungsi sebagai instrumen untuk melihat ketimpangan kemakmuran. Melalui perbandingan-perbandingan prilaku dan pola konsumsi, telah disingkap adanya kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Pengeluaran konsumsi masyarakat dapat pula difungsikan untuk mendeteksi ketimpangan kemakmuran antar lapisan masyarakat sebab, sebagaimana diketahui, kesenjangan kemakmuran dapat diukur balik dengan pendekatan pendapatan maupun dengan pendekatan pengeluaran.

Ditelaah berdasarkan perbandingan kontribusi pengeluaran antar lapisan masyarakat, distribusi kemakmuran penduduk pedesaan relatif lebih baik dibandingkan distribusi kemakmuran penduduk perkotaan. Kontribusi pengeluaran dari 10% penduduk berpengeluaran terendah didaerah pedesaan masih lebih tinggi dari pada lapisan penduduk yang sama didaerah perkotaan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1.      Pengeluaran Konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel makroekonomi dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran, variabel ini lazim dilambangkan dengan dengan hurup C (Consumption). Pengeluran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatannya yang dibelanjakan
2.      Perilaku Konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi.
3.      Pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi rumah tangga (household consumption/private consumption).
4.      secara garis besar alokasi pengeluaran  konsumsi masyarakat digolongkan kedalam dua kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk bukan makanan. Contoh pengeluaran makanan seperti; padia-padian, umbi-umbian dan lain sebagainya. Sedangkan yang pengeluaran yang bukan makanan contohnya; perumahan dan bahan bakar, anekabahhan dan jasa, biaya  pendidikan dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar