BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Perilaku pengeluaran yang
dilakukan oleh sektor rumah tangga bisa dilakukan dengan membuat fungsi
konsumsi dan fungsi tabungan, untuk melihat bagaimana perubahan pendapatan
terhadap tingkat pengeluaran konsumsi dan tabungan. Kecenderungan bagi sektor
rumah tangga untuk melakukan konsumsi disebut dengan Marginal Propensity to
Consume (MPC). Sedangkan kecenderungan bagi sektor rumah tangga untuk melakukan
tabungan disebut dengan Marginal Propensity to Save (MPS).
Uraian dalam makalah ini bertujuan untuk melihat dengan
lebih mendalam lagi dan membuktikan bahwa tingkat kegiatan ekonomi bergantung
kepada tingkat pengeluaran agregat yang dilakukan oleh seluruh golongan
masyarakat dan dibahas penentuan tingkat kegiatan ekonomi dalam suatu
perekonomian dua sector atau perekonomian sederhana. Tingkat kegiatan ekonomi
dalam perekonomian yang lebih maju dan lebih rumit corak kegiatannya. Uraian
ini menjelaskan mengenai bagaimana pengeluaran agregat akan menentukan tingkat
kegiatan ekonomi dinamakan : analisa tingkat keseimbangan perekonomian Negara
atau analisa penentuan tingkat pendapatan Nasional.
1.2. Tujuan
Adapun
Tujuan dibuatnya sektor pengeluaran masyarakat tersebut adalah:
1. Sebagai
bentuk tanggung jawab mahasiswa atas tugas yang diberikan oleh dosen mata
kuliah perekonomian indonesia.
2. mengetahui
apa yang dimaksud dengan pengeluaran konsumsi
masyarakat
3. Memahami
lebih mendalam bagaimana Prilaku Konsumsi Masyarakat.
4. Agar
mengetahui apa yang dimaksud dengan Pola
Konsumsi Masyarakat
1.3. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sektor pengeluaran masyarakat pada perekonomian
indonesia ?
2.
Apa itu pengeluaran
konsumsi masyarakat ?
3.
Teori-teori apa saja
yang terkandung dalam konsumsi
masyarakat tersebut?
4.
Apa Pola
Konsumsi Masyarakat ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengeluaran
Konsumsi Masyarakat
Pengeluaran Konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel makroekonomi
dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran, variabel
ini lazim dilambangkan dengan dengan hurup C (Consumption). Pengeluran konsumsi
seseorang adalah bagian dari pendapatannya yang dibelanjakan. Bagian dari
pendapatan yang tidak dibelanjakan disebut tabungan lazim dilambangkan dengan
hurup S (Saving). Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam
suatu negara dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat
negara yang bersangkutan. Dilain pihak jika tabungan semua orang dalam suatu
negara dijumlahkan hasilnya adalah tabungan masyarakat negara tersebut.
Selanjutnya, tabungan masyarakat bersama-sama dengan tabungan pemerintah
membentuk tabungan nasional. Dan tabungan nasional merupakan sumber dana
investasi.
Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya. Secara
makroagregat pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan
nasional. Semakin besar pendapatan, makin besar pula pengeluaran konsumsi.
Perilaku tabungan juga begitu. Jadi bila pendapatan bertambah, baik konsumsi
maupun tabungan akan sama-sama bertambah. Perbandingan besarnya tambahan
pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut kecenderungan untuk
mengkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC). Sedangkan besarnya tambahan
pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut kecenderungan untuk
menabung (Marginal Propensity to Save, MPS). Pada masyarakat yang kehidupan
ekonominya relatif belum mapan, biasanya angka MPC mereka relatif besar,
sementara angka MPS mereka relatif kecil. Artinya jika mereka memperoleh
tambahan pendapatan maka sebagian besar tambahan pendapatannya itu akan
teralokasikan untuk konsumsi. Hal sebaliknya berlaku pada masyarakat yang
kehidupan ekonominya sudah relatif lebih mapan.
Perbedaan antara masyarakat yang sudah mapan dan yang belum mapan antara
negara maju dan negara berkembang bukan hanya terletak dalam atau dicerminkan
oleh perbandingan relatif besar kecilnya MPC dan MPS, akan tetapi juga dalam
pola konsumsi itu sendiri. Pola konsumsi masyarakat yang belum mapan biasanya
lebih didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok atau primer. Sedangkan
pengeluaran konsumsi masyarakat yang sudah mapan cenderung lebih banyak
teralokasikan ke kebutuhan sekunder atau bahkan tersier.
2.2. Prilaku
Konsumsi Masyarakat
Beberapa pandangan ahli mengenai perilaku
konsumen antara lain :
1. Istilah perilaku
konsumen diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari,
membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang
mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka (Schiffman dan Kanuk 1994)
2. Perilaku
konsumen merupakan tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan,
mengkonsumsi, dam menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang
mendahului dan mengikuti tindakan ini. (Engel, Blackweel, dan Miniard; 1993)
3. Perilaku
konsumen merupakan proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik dalam
mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan menghabiskan barang atau jasa.
(Loudon dan Della-Bitta; 1984)
4. Perilaku
yang ditunjukkan oleh orang-orang dalam merencanakan, membeli, dan menggunakan
barang-barang ekonomi dan jasa, disebut perilaku konsumen. (Winardi,1991)
5. Perilaku
yang dikaitkan dengan preferences dan possibilities adalah perilaku konsumen.
(Deaton dan Muellbawer, 1986)
6. Perilaku
konsumen merupakan pengkajian dari perilaku manusia sehari-hari (Mullen dan Johnson,
1990)
Dari beberapa pandangan di atas dapat ditarik satu kesimpulan yaitu
Perilaku Konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang
mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli,
menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas
atau kegiatan mengevaluasi.
Alokasi PDB dewasa ini semakin besar tergunakan untuk keperluan pembentukan
modal atau investasi serta ekspor dan impor. Kenyataan ini tentu saja
menggembirakan karena menandakan secara umum pendapatan masyarakat sudah
mencukupi kebutuhan konsumsinya, sehingga terdapat kelebihan yang bisa ditabung
untuk menjadi sumber dana investasi. Adalah beralasan untuk menyatakan bahwa
harapan untuk menumbuhkan perekonomian cukup prospektif. Persoalannya kemudian
ialah seberapa besar tabungan masyarakat kita telah mencukupi sasaran
pertumbuhan perekonomian yang diinginkan. Pertumbuhan pengeluaran konsumsi
masyarakat Indonesia rata-rata 6,5 persen per tahun selama dasawarsa 1970-an.
Angka ini satu persen lebih rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata
pengeluaran konsumsi masyarakat Malaysia untuk kurun waktu yang sama.
Akan tetapi, lebih tinggi daripada pertumbuhan rata-rata tahunan
pengeluaran konsumsi masyarakat India dan Republik Rakyat Cina, masing-masing
2,9 dan 4,9 persen; bahkan juga dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi
masyarakat Amerika Serikat (3,1%) dan jepang (4,7%). Dalam periode 1980-1993,
pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia tumbuh setingkat satu ata-rata 4,4
persen per tahun, lebih rendah daripada india (4,7%) dan cina (7,9%) serta
Malaysia (5,5%); namun lebih tinggi daripada amerika dan jepang. Angka-angka
perbandingan ini beralasan untuk menjelaskan bahwa, sebagai Negara berkembang,
Indonesia memiliki bekal kemandirian yang cukup mantap dalam menumbuhkan
perekonomiannya. Hasil-hasil pembangunannya selama ini teralokasikan ke
penggunaan yang produktif. Kemantapan bekal kemandirian dalam pembangunan
tersebut dapat dikonfirmasikan melalui tinjauan pengeluaran konsumsi masyarakat
berdasarkan proporsinya dalam pembentukan permintaan agregat (aggregate
demand).
Penurunan proporsi pengeluaran konsumsi masyarakat dalam membentuk
permintaan agregat menyiratkan dua hal. Pertama, peran tabungan masyarakat
terahdap pendapatan nasional semakin besar. Kedua, peran sektor-sektor
penggunaan lain dalam membentuk permintaan agregat semakin besar, khususnya
sector pembentukan modal atau investasi dan sektor ekspor-impor.
2.3. Teori Konsumsi
Pengeluaran
konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi
rumah tangga (household consumption/private consumption). Factor-faktor yang
mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, antara lain :
2.3.1.
Faktor Ekonomi
Empat faktor yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu :
a) Pendapatan Rumah Tangga (
Household Income )
Pendapatan
rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin
baik tingkat pendapatan, tongkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat
pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan
konsumsi menjadi semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin
konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik.
b) Kekayaan Rumah Tangga ( Household
Wealth )
Tercakup
dalam pengertian kekayaaan rumah tangga adalah kekayaan rill (rumah, tanah, dan
mobil) dan financial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat berharga).
Kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposable.
c)
Tingkat Bunga ( Interest Rate )
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi.
Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari
kegiatan konsumsi akan semakin maha. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan
berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bankatau menggunakan kartu
kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik menunda/mengurangi
konsumsi.
d) Perkiraan Tentang Masa Depan
(Household Expectation About The Future)
Faktor-faktor
internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek masa depan rumah tangga
antara lain pekerjaan, karier dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota
keluarga yang telah bekerja. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
antara lain kondisi perekonomian domestic dan internasional, jenis-jenis dan
arah kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah.
2.3.2.
Faktor Demografi
a.
Jumlah Penduduk
Jumlah
penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh,
walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relative rendah.
Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk
sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi.
b.
Komposisi Penduduk
Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi,
antara lain :
v Makin banyak penduduk yang berusia
kerja atua produktif (15-64
tahun),
makin besar tingkat konsumsi. Sebab makin banyak penduduk
yang
bekerja, penghasilan juga makin besar.
v Makin tinggi tingkat pendidikan
masyarakat, tingkat konsumsinya juga
makin tinggi, sebab
pada saat seseorang atau suatu keluarga makin
berpendidikan tinggi
maka kebutuhan hidupnya makin banyak.
v Makin banyak penduduk yang tinggal
di wilayah perkotaan (urban),
pengeluaran konsumsi
juga semakin tinggi. Sebab umumnya pola
hidup masyarakat perkotaan lebih
konsumtif disbanding masyarakat
pedesaan.
2.3.3.
Faktor-faktor Non Ekonomi
Factor-faktor
non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah
faktor social budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan
makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat
lain yang dianggap lebih hebat/ideal.
2.4. Pola
Konsumsi Masyarakat
Pola konsumsi dapat dikenali berdasarkan alokasi penggunaanya. Untuk
keperluan analisis, secara garis besar alokasi pengeluaran konsumsi
masyarakat digolongkan kedalam dua kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk
makanan dan pengeluaran untuk bukan makanan. Contoh pengeluaran makanan
seperti; padia-padian, umbi-umbian dan lain sebagainya. Sedangkan yang
pengeluaran yang bukan makanan contohnya; perumahan dan bahan bakar,
anekabahhan dan jasa, biaya pendidikan dan lain sebagainya.
Pengeluaran rata-rata orang kota selalu dua kali lipat pengeluaran orang
desa. Perbandingan pola pengeluarannya juga demikian. Alokasi pengeluaran untuk
makanan di kalangan orang desa lebih besar dibandingkan orang kota. Walaupun
demikian, selama kurun waktu 1984-1993, alokasi pengeluaran untuk makanan di
kedua kelompok penduduk ini sama-sama berkurang. Disamping itu semua, kenaikan
pengeluaran orang kota sedikit lebih cepat / tinggi dibandingkan kenaikan
pengeluaran orang desa. Diukur atas dasar harga yang berlaku atau secara nominal,
sepanjang periode 1984-1993 pengeluaran penduduk perkotaan naik rata-rata
36,63% per tahun. Angka sejenis untuk penduduk perdesaan adalah 35,76%. Apabila
diyakini pendapat umum bahwa tingkat harga di perkotaan biasanya naik lebih
cepat daripada di daerah perdesaan, maka secara rill sesungguhnya kenaikan
pengeluaran orang desa justru lebih tinggi daripada orang kota.
Lebih tingginya kenaikan pengeluaran penduduk perdesaan dibandingkan
penduduk perkotaan harus dipahami secara hati-hati. Hal ini tidak berarti bahwa
dibandingkan orang kota, orang desa menjadi lebih boros, kian konsumtif, atau
semakin makmur. Mengingat jumlah pengeluaran yang menjadi basis pehitungan
nilainya jauh lebih rendah untuk penduduk perdesaan, kenaikan pengeluaran yang
lebih tinggi itu sesungguhnya arulah sekedar menggambarkancapaian orang-orang
desa dalam upayanya untuk dapat hidup lebih baik. Capaian itu sendiri belum
mampu mensejajarkan denganposisi kemakmuran orang kota. Penafsiran semacam ini
masih tergolong sebagai penafsiran yang bernada optimistis. Kenaikan lebih
tinggi pengeluaran penduduk perdesaan tadi dapat pula ditafsirkan dengan nada
pesimistis. Yakni bahwa hal itu disebabkan karena orang-orang desa harus
mengeluarkan lebih besar untuk mempertahankan tingkat hidup subsistennya,
berkenaan dengan suku niaga (terms of trade) yang semakin buruk yang menimpa
produk-produk primer dari desa (hasil bumi) dibandingkan dengan produk-produk
sekunder dari kota (hasil industri).
2.5. Dimensi
Ketimpangan Pengeluaran Konsumsi
Dalam uraian-uraian diatas, secara sambil lalu turut disinggung bagaimana
prilaku dan pola pengeluaran konsumsi dapat berfungsi sebagai instrumen untuk
melihat ketimpangan kemakmuran. Melalui perbandingan-perbandingan prilaku dan
pola konsumsi, telah disingkap adanya kesenjangan antara masyarakat pedesaan
dan masyarakat perkotaan. Pengeluaran konsumsi masyarakat dapat pula
difungsikan untuk mendeteksi ketimpangan kemakmuran antar lapisan masyarakat
sebab, sebagaimana diketahui, kesenjangan kemakmuran dapat diukur balik dengan
pendekatan pendapatan maupun dengan pendekatan pengeluaran.
Ditelaah berdasarkan perbandingan kontribusi pengeluaran antar lapisan
masyarakat, distribusi kemakmuran penduduk pedesaan relatif lebih baik
dibandingkan distribusi kemakmuran penduduk perkotaan. Kontribusi pengeluaran
dari 10% penduduk berpengeluaran terendah didaerah pedesaan masih lebih tinggi
dari pada lapisan penduduk yang sama didaerah perkotaan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
1. Pengeluaran
Konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel makroekonomi dalam identitas
pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran, variabel ini lazim
dilambangkan dengan dengan hurup C (Consumption). Pengeluran konsumsi seseorang
adalah bagian dari pendapatannya yang dibelanjakan
2. Perilaku
Konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang
mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli,
menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas
atau kegiatan mengevaluasi.
3. Pengeluaran konsumsi terdiri dari
konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi rumah tangga
(household consumption/private consumption).
4. secara garis
besar alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat digolongkan kedalam dua
kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk
bukan makanan. Contoh pengeluaran makanan seperti; padia-padian, umbi-umbian
dan lain sebagainya. Sedangkan yang pengeluaran yang bukan makanan contohnya;
perumahan dan bahan bakar, anekabahhan dan jasa, biaya pendidikan dan
lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar