Daftar Laman

Minggu, 15 Juni 2014

MANAJEMEN KEMITRAAN PEMERINTAH DAERAH



BAB I
PENDAHULUAN

Pengembangan kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat pada dasarnya erat kaitannya dengan domain administrasi publik melalui “reform to public administration”. Public administration reform di sektor pemerintahan bermuara pada “good governance” sedangkan pada sector swasta (perusahaan) adalah bermuara pada “good corporate governance”. Perubahan paradigma administrasi publik yang merupakan salah satu pendorong tumbuh dan berkembangnya konsep dan model kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat telah diilhami oleh beberapa pemikiran yang antara lain adalah David Osborne dan Peter Plastrik dalam “Banishing Bureucracy” yang pada intinya adalah mewirausahakan birokrasi melalui 5 strategi (5 core strategies, 5Cs) dan David Osborne dan Ted Gaebler dalam “Reinventing Government” yang pada intinya adalah mentransformasi semangat wirausaha ke dalam sektor publik, dimana pemerintah harus mampu berperan sebagai katalisator, yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Selain itu pemerintah harus dapat memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanan, serta dapat menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan, dengan demikian maka sektor usaha swasta dan pemerintah dapat bekerja secara lebih profesional dan efisien.

Sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, pemerataan dan keadilan, maka efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan yang dihadapi daerah melalui pengembangan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, serta kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat.

Sebagai upaya mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan strategis tersebut, pemerintah telah mengeluarkan landasan yang cukup kuat bagi pemerintah daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan 196 yang mengatur tentang pelaksanaan kerjasama antar daerah, Badan Usaha Daerah (BUMD), dengan pihak ketiga.




BAB II
PEMBAHASAN

Pentingnya kerjasama pemerintah daerah dengan BUMD dan swasta menurut Chang & Rowthord dalam Nining I. Soesilo (2000) adalah karena:
(1) negara/pemerintah bukan paling hebat dalam menaikkan kesejahteraan rakyat;
(2) kegagalan pemerintah lebih serius dari kegagalan swasta;
(3) dari sudut pandang institusional economy;
(4) negara cenderung reaktif bukan proaktif terhadap pasar.

*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur

Disamping itu saat ini telah banyak dikembangkan kerjasama kemitraan strategis baik antar daerah maupun dengan badan usaha daerah (BUMD) serta swasta dan masyarakat. Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan pentingnya pengembangan kerjasama kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah, BUMD, swasta dan masyarakat; konsep dan model kerjasama kemitraan strategis, model-model kerjasama kemitraan strategis yang telah dikembangkan di beberapa Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia.

v KONSEP DAN MODEL KERJASAMA KEMITRAAN STRATEGIS

Pengembangan kerjasama kemitraan strategis khususnya disektor publik pada dasarnya banyak terinspirasi oleh adanya perubahan paradigma administrasi publik sebagaimana disampaikan oleh David Osborne dan Peter Plastrik dalam Mustopadidjaja, AR (2003) yaitu konsep mewirausahakan birokrasi melalui 5 strategi (5 core strategies, 5Cs) yaitu:
Ø  Strategi Inti (Centre Strategy), yakni menata kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi;
Ø  Strategi Konsekuensi (Consequency Strategy), yakni strategi yang mendorong persaingan sehat guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai;
Ø  Strategi pelanggan (Customer Strategi), yaitu memusatkan perhatian untuk bertanggung jawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepastian mutu bagi pelanggan;
Ø  Strategi Kendali (Control Strategy), yaitu merubah lokasi dan bentuk kendali di dalam organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah, yaitu pelaksanaan atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi, dan misi yang telah ditentukan.


Ø  Strategi Budaya (Cultural Strategy), yakni merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap budaya organisasi publik inipun berubah (tidak lagi memandang rendah).

Selanjutnya David Osborne dan Ted Gaebler dalam Reinventing Government, yang antara lain menetapkan 10 prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan :
1)      Sterring rather than rowing;
2)      Empower Comunities to solve their own problems, rather than merely deliver services;
3)      Promote and encourage competition, rather than monopolies.
4)      Be driven by mission rather than rules;
5)      Result oriented by funding outcomes rather than outputs;
6)      Meet the needs of the customer rather those of the bureaucracy;
7)      Concentrate on earning money rather than just spending it;
8)      Invest in preventing problems rather than curing crises;
9)      Decentralize authority rather than build hierarchy;
10)  Solve problem by influencing market forces rather than by treating public programs.

Dari 10 prinsip reinventing government tersebut ada beberapa prinsip yang perlu dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka membangun konsep dan model kerjasama kemitraan strategis antara BUMD, swasta dan masyarakat diantaranya adalah :
ü  Sterring rather than rowing. Pemerintah Daerah harus dapat berperan sebagai katalisator, yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian pemerintah daerah perlu lebih mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan public;
ü  Empower Comunities to solve their own problems, rather than merely deliver services. Pemerintah daerah harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanannya, ini perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk lebih memberdayakan masyarakat;
ü  Promote and encourage competition, rather than monopolies. Pemerintah daerah harus dapat menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan tersebut, maka sektor usaha swasta dan pemerintah daerah dapat bersaing dan bekerja secara lebih profesional dan efisiensi;
ü  Meet the needs of the customer rather those of the bureaucracy. Pemerintah daerah harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan birokrat, hal tersebut dilakukan dalam rangka lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

Terkait dengan kerjasama kemitraan strategis terdapat beberapa konsep dan model yang telah dikembangkan antara lain adalah :
(1) kerjasama antar daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan pihak ketiga;
(2) kerjasama kemitraan strategis;
(3) kerjasama kemitraan dalam bentuk aliansi strategis; dan
(4) kerjasama kemitraan terpadu (KKT).

v Konsep dan Model Kerjasama Antar Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan Pihak Ketiga

Upaya-upaya pengembangan otonomi daerah yang bertumpu pada potensi dan kapasitas daerah dilakukan melalui berbagai kajian otonomi daerah, dan identifikasi kewenangan daerah. Langkah-langkah ini diarahkan untuk mengurangi kesenjangan yang ada dalam rangka mengoptimalkan potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Peningkatan potensi dan kapasitas daerah perlu dilakukan melalui kerjasama kemitraan lintas sector yang bertujuan menciptakan iklim yang kondusif antar Pemerintah Daerah dengan memanfaatkan peluang nasional, regional dan global guna kepentingan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi Negara Undang-undang Dasar 1945.

Sebagai landasan dalam rangka mewujudkan peningkatan potensi dan kapasitas daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah melalui pengembangan kerjasama antar daerah, BUMD, swasta dan masyarakat telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan 196 yang menyatakan bahwa :
(1)   Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, senergi dan saling menguntungkan;
(2)   Kerjasama dimaksud dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama;
(3)   Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga;
(4)   Kerja sama antar daerah dan kerjasama dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.

Selanjutnya Pasal 196 UU 32 tahun 2004 menyatakan bahwa :
1)      Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait;
2)      Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat;
3)      Untuk pengelolaan kerjasama dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dan untuk menciptakan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan publik daerah dapat membentuk badan kerja sama.

Terkait dengan pengembangan kerjasama antara pemerintah daerah, BUMD dan pihak ketiga, sebenarnya sudah diatur sejak tahun 1986, yaitu sejak dikeluarkannya PERMENDAGRI Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyertaan Modal Daerah, dimana terdapat 5 bentuk Kerjasama antara pemerintah dengan swasta, yaitu:
1) Kerjasama bagi hasil usaha,
2) Kerjasama produksi,
3) Kerjasama manajemen,
4) Kerjasama bagi tempat usaha, dan
5) Kerjasama bagi keuntungan.

Dengan dikeluarkannya Permendagri tersebut, maka daerah mempunyai peluang untuk membangun kerjasama antar daerah pemerintah daerah dengan pihak swasta, swastanisasi dan keterlibatan sector swasta dalam kegiatan pemerintahan dan kegiatan yang dikembangkan pemerintah daerah, membeli saham dalam suatu perusahaan perseroan terbatas yang ada (PT), mendirikan perusahaan perseroan terbatas (PT), mengadakan kontrak manajemen, kontrak produksi, kontrak bagi hasil dan kontrak pembagian lokasi bisnis.

Sebagai tindak lanjut Kepmendagri No. 3 tahun 1986, Menteri Dalam Negeri lebih lanjut mengeluarkan PERMENDAGRI No. 4 Tahun 1990, tentang pedoman bagi kerjasama antara perusahaan-perusahaan pemerintah daerah (BUMD) dengan pihak ketiga (sektor swasta), untuk :
(1)   membentuk perusahaan patungan, operasi bersama, saham keuntungan bersama, pengeluaran bersama, saham produksi bersama;
(2)   mengadakan negosiasi kontrak manajemen, kontrak produksi, pembagian kontrak produksi, dan pembagian kontrak lapangan;
(3)   membeli saham-saham dari perusahaan perseroan terbatas lainnya;
(4)   menetapkan hak penjualan, penggunaan dan distribusi;
(5)   menjual saham, obligasi, menyebarkan saham;
(6)   mendapatkan bantuan teknis dan bantuan asing.

Bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga (swasta)
Berkaitan dengan kerjasama kemitraan strategis, The Kian Wie (1992) dalam dialog kemitraan dan keterkaitan antara usaha besar dan kecil, menyatakan bahwa “ agar pelaksanaan kerjasama kemitraan dapat berkelanjutan (sustainable) antara satu pihak dengan pihak lain, maka harus berdasarkan pada tiga azas Kerjasama yaitu:
1)      saling membutuhkan dengan unsur: motivasi hubungan kerjasama, jenis/ bidang kerjasama dan sistem pengelolaan kerjasama;
2)      saling memperkuat dengan unsur: jenis dan syarat kerjasama, dampak dari kerjasama;
3)      saling menguntungkan dengan unsur: pengembangan aspek ekonomi dan kesejahteraan, pengembangan aspek cultural.

Bentuk-bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga yang selama ini telah dikembangkan antara lain :
ü  Kerjasama Bangun-Kelola-Sewa-Serah (Build, Operate, Lease-hold and Transfer/ BOLT). Merupakan bentuk Kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Pihak Kedua yang memberikan hak kepada pihak kedua untuk membangun suatu infrastuktur atau bangunan di atas tanah yang dimiliki Pemerintah Daerah kemudian mengelolanya dengan menyewakan kepada pihak lain. Sebagai imbalan Pemerintah Daerah menerima bagian dari hasil sewa dengan jumlah yang disepakati bersama pihak kedua.
ü  Kerjasama Bangun-Serah-Sewa (Build, Transfer and Leasehold = BTL). Dalam kerjasama ini pihak kedua membangun infrastruktur di atas tanah Pemerintah Daerah, dan setelah selesai ia menyerahkannya kepada Pemerintah Daerah. Bentuk Kerjasama yang belum banyak dilakukan oleh pemerintah pusat maupun Daerah ini dapat dilakukan untuk membangun infrastruktur berupa hotel, convention hall, dsb.
ü  Kerjasama Bangun-Sewa-Serah (Build, Rent and Transfer = BRT). Bentuk Kerjasama ini hampir sama dengan BTL, bedanya hanyalah dalam BRT pihak kedua dapat mengelola dan mengoperasikan bangunan atau infrastruktur yang telah dibangunnya dengan cara menyewa kepada Pemerintah, yang diperhitungkan dari biaya pembangunan.
ü  Kerjasama Bangun-Kelola-Alih Milik (Built, Operate, and Transfer = BOT). Pihak kedua membangun dan mengoperasikan suatu fasilitas infrastruktur yang kemudian dipindah tangankan kepada pemerintah daerah setelah masa konsesi habis.
ü  Kerjasama Bangun-Guna-Milik (Build Own Operate = BOO). Tidak seperti pada pendekatan BOT, perusahaan swasta yang memenangkan konsensi proyek BOO tetap memiliki hak terhadap proyek tersebut setelah masa konsensi usai. Bentuk kerjasama ini biasanya dilakukan terhadap obyek yang output-nya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak misalnya listrik, gas dan sebagainya.
ü  Kerjasama Bangun-Serah (Build and Tranfer = BT). Dalam kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta kepada pihak kedua untuk membangun prasarana di atas tanah milik Pemerintah Daerah. Pihak kedua membangun dan membiayai sampai dengan selesai, dan setelah pembangunan selesai pihak kedua menyerahkan kepada Pemda. Sebagai imbalannya Pemerintah Daerah membayar biaya prasarana ditambah bunga Bank.
ü  Kerjasama Bangun-Serah-Kelola (Build transfer operate = BTO). Dalam pola ini, pihak swasta membangun suatu fasilitas infrastruktur di atas tanah miliki Pemerintah Daerah dan menyerahkan fasilitas tersebut kepada pemerintah setelah fasilitasnya terbangun.
ü  Kerjasama Rehabilitasi-Guna-Serah (Renovate, Operate and Transfer = ROT). Dalam kerjasama ini pihak kedua menyediakan modal dan melakukan renovasi atas bangunan atau fasilitas lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah hingga nilainya meningkat. Obyek kerjasama ini biasanya dapat dilakukan terhadap pembangunan hotel, pusat perbelanjaan dsb.
ü  Kerjasama Renovasi-Guna-Sewa-Serah (Renovate, Operate, Leashehold and Tranfer = ROLT). Berbeda dengan bentuk Kerjasama ROT, Pihak kedua merenovasi bangunan atau bentuk fasilitas lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah namun untuk menggunakannya ia harus menyewa kepada Pemda.
ü  Kerjasama Sewa-Tambah dan Guna (Contract, Add and Operate = CAO). Dalam kerjasama ini pihak kedua menyewa dan menambah bangunan dan atau mening-katkan kualitas bangunan dan mengelolanya. Nilai sewa bangunan setiap 2 tahun ditinjau kembali. Jangka waktu kerjasama paling lama 10 tahun.
ü  Kerjasama Bantuan teknis atau Dana. Dalam kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta bantuan berupa tenaga ahli/alih teknologi atau bantuan dana/pembiayaan dari pihak kedua. Kerjasama ini dilakukan untuk bidang usaha yang memerlukan teknologi atau managerial skill dan know how khusus yang tidak dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
ü  Kontrak Pelayanan (service contract). Dalam pola ini perusahaan swasta menangani suatu pelayanan atau terhadap infrastruktur yang dimiliki pemerintah daerah. Contoh yang dapat dilakukan oleh swasta melalui kontrak pelayanan ini adalah pengumpul-an limbah sampah di kota-kota, pemeliharaan fasilitas air minum dan tenaga listrik, tagihan air minum dan listrik.

v Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan Strategis Dalam Bentuk Aliansi Strategik

Pengertian aliansi strategik menurut Jones dalam Kajian LAN (2003) adalah suatu kesepakatan yang mengikat dua atau lebih organisasi untuk berbagai sumber daya dalam rangka mengembangkan peluang-peluang usaha bersama. Selanjutnya disebutkan bahwa strategi aliansi stratejik dapat diterapkan baik dalam mengelola sumber daya dalam saling ketergantungan yang bersifat simbiotik maupun yang bersifat kompetitif.

Sedangkan Porter menyebutkan bahwa koalisi atau aliansi merupakan suatu cara untuk memperluas cakupan tanpa memperluas organisasi melalui suatu kontrak dengan organisasi independen untuk mewujudkan nilai atas kegiatan atau melalui pembentukan Tim dengan organisasi independen untuk berbagi nilai atas kegiatan tersebut (Ibid: 2003).
Berdasarkan hasil kajian LAN (2003), aliansi stratejik dipahami sebagai suatu kerjasama dari dua atau lebih pelaku (party/partner, dalam hal ini pemerintah daerah) berdasarkan pada kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan bersama dimana masing-masing pelaku memberikan komitmen, menyumbangkan sumberdaya, dan berperan aktif dalam mengelola (managing, controlling) aliansi dimaksud.

Model-model kerjasama dalam bentuk aliansi stratejik yang telah dikembangkan selama ini antara lain :
Ø  Kerjasama Operasi (KSO), bentuk Kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahaan Daerah) dengan pihak lain (swasta) untuk mengusahakan suatu peralatan operasi atau fasilitas penyediaan pelayanan (misalnya air bersih), dimana sistem operasi dan kepemilikannya diatur dalam kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama;
Ø  Kerjasama Manajemen (KM), bentuk kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahaan Daerah) dengan pihak lain untuk menyelenggarakan suatu kegiatan tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan karyawan, baik dalam bidang operasi dan produksi, usaha dan pemasaran sumberdaya manusia, keuangan dan akuntansi, organisasi dan manajemen, hukum dan hubungan masyarakat, sistem informasi, maupun dalam bidang pengkajian dan pengembangan;
Ø  Penyertaan Modal (PM), bentuk kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (pemerintah daerah/perusahaan Daerah) menyertakan modalnya dalam kegiatan kerjasama usaha;
Ø  Perusahaan Patungan (PP), adalah bentuk kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (pemerintah daerah/perusahaan Daerah) dengan pihak lain, dimana masing-masing pihak yang terlibat dalam Kerjasama usaha menyertakan modal dan/atau sumberdaya lainnya untuk membentuk suatu badan usaha tertentu. Pembagian resiko dan keuntungan usaha dilakukan menurut kesepakatan berdasarkan penyertaan yang diberikan.


v Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan Terpadu (KKT)

Kerjasama Kemitraan Terpadu (KKT) adalah suatu program kejasama kemitraan terpadu yang melibatkan beberapa unsur {(pengusaha besar (inti), usaha kecil yang ada dimasyarakat (plasma), perbankan, pemerintah daerah)} dalam ikatan kerjasama yang dituangkan dalam nota kesepakatan bersama. Adapun tujuan kerjasama kemitraan terpadu antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien serta membantu pemda memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan perekonomian daerah.
Model kerjasama kemitraan terpadu antara perusahaan swasta (inti), mayarakat (plasma), perbankan dan pemda yaitu dengan mengadakan kerjasama secara langsung melalui nota kesepahaman (MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Model kerjasama kemitraan terpadu yang telah dikembangkan selama ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

Dengan model kerjasama seperti tersebut di atas, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada usaha kecil (plasma) dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh kelompok-kelompok usaha kesil. Sedangkan masalah pembinaan diberikan oleh perusahaan mitra dan pemerintah daerah.

Disamping kerjasama kemitraan terpadu dalam bentuk Chanelling Agent Model tersebut di atas, juga telah dikembangkan kerjasama kemitraan terpadu dalam bentuk Executing Agent Model,


v Kerjasama Kemitraan Strategis (Model Kluster Bisnis)

Fujita & Thisse dalam Mudrajad Kuncoro (2002) menyatakan bahwa fenomena kluster telah menarik perhatian para ekonom untuk terjun dalam studi dalam masalah lokasi sehingga memunculkan paradigma baru yang disebut geografi ekonomi baru (new economic geography atau geographical economic). Argumen tersebut diperkuat kembali oleh Porter, bahwa peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh apa yang dinamakannya kluster (cluster). Selanjutnya definisi kluster menurut Porter adalah konsentrasi geografi dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi yang saling berhubungan dalam wilayah tertentu. Lebih lanjut Mudrajad Kuncoro menyatakan bahwa kluster industri (Industrial Cluster) pada dasarnya merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri utama saja.
Beberapa model kerjasama kemitraan strategis dalam bentuk kluster bisnis telah banyak dikembangkan,

Pada kerjasama kemitraan stratregis model kluster bisnis tersebut di atas, layanan kepada kelompok usaha dapat lebih fokus, kolektif dan efisien, karena dengan sumber daya yang terbatas dapat menjangkau kelompok usaha yang lebih luas. Disamping itu model kluster bisnis ini juga mempunyai efektifitas yang tinggi, karena jelas sasarannya dan unit usaha yang ada pada sentra umumnya mempunyai permasalahan yang sama, baik dari sisi produksi, pemasaran, teknologi maupun permodalan.

Disamping Kerjasama Kemitraan Strategis (Model Kluster Bisnis) tersebut diatas, juga telah dikembangkan kerjasama kemitraan dalam model jaringan bisnis sentra industri,

Pada model kerjasama jaringan bisnis sentra industri ini terdiri dari banyak sekali unit usaha sejenis dengan spesifikasi kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau dari yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya.

Untuk menjamin agar pelaksanaan kerjasama kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah, BUMD, swasta dan masyarakat dapat berhasil dengan baik, maka perlu diupayakan oleh berbagai pihak yang terkait, yaitu:

(1)   Komitmen (commitment), merupakan kesepakatan mendalam dari semua pihak yang yang terkait berhubungan dengan upaya mewujudkan suatu keberhasilan. Komitmen hanya dapat tercipta apabila terdapat prakondisi yang mendukung, yaitu antara lain:
a)      tersedianya informasi yang sahih dalam organisasi (valid information);
b)      kesepakatan untuk membuat pilihan bebas (choice);
c)      saling percaya diantara sesama warga organisasi (trust);
d)     ketentuan yang konstruktif dan dinamis (openess);
e)      mengembangkan rasa tanggungjawab pada organisasi (responsibility);
f)       keterlibatan setiap warga untuk berkonsultasi secara optimal (involvement).

(2)   Kemitraan (Alignment) yaitu adanya kebersamaan dalam kesetaraan untuk mencapai satu kesamaan derap langkah, irama dan arah perjalanan organisasi. Kemitraan juga bermaksud penggalangan kekuatan untuk menciptakan nilai tambah dari ikatan yang telah dibuat bersama. Beberapa kondisi yang diperlukan demi terwujudnya kemitraan antara lain:
a.       adanya tata nilai, suasana dan kekuasaan menjadi mitra bersama (shared values, norms and power);
b.      adanya suasana kesederajatan dalam berbagai aspek kerjasama (equality);
c.       adanya jaringan kerja yang saling menunjang pertumbuhan bersama (networking); dan
d.      adanya kerjasama yang efektif dan produktif (collaboration).

(3)   Pemberdayaan (Empowerment), yaitu adanya proses transformasi ataupun instruksi dari berbagai pihak yang berdampak pada saling menumbuhkan, saling meningkatkan, saling memperkuat dan menambah nilai daya yang secara potensial terdapat dalam organisasi untuk diarahkan sebagai energi organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Beberapa kondisi yang perlu diciptakan untuk dapat mewujudkan pemberdayaan, antara lain:
a)      adanya dorongan untuk berani mencoba mengambil bagian dalam proses pembaharuan yang dilakukan dalam organisasinya (encouragement);
b)      diberikannya tantangan bagi para pelaksana pembaharuan untuk dapat bergerak dan termotivasi dalam proses pembaharuan (chalenger);
c)      diberikannya peluang untuk terlibat dan mengambil peran dalam proses pembaharuan (opportunity);
d)     pemberian kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan diberikan bimbingan dalam dalam mencoba melaksanakan suatu inovasi (training and guidance);
e)      pemberian dukungan baik moril maupun pendukung lainnya, sehingga pihak yang bersangkutan dapat ikut dalam proses pembaharuan (support);
f)       disediakannya penghargaan yang tepat untuk setiap keberhasilan dalam melaksanakan atau mencoba suatu pembaharuan (reward).

KEMITRAAN PEMERINTAH DAERAH DAN SWASTA DALAM MENCIPTAKAN LINGKUNGAN HIJAU MELALUI CSR
1.      Kemitraan Pemerintah Swasta
Pasca UU otonomi Daerah, Perkembangan tatakelola pemerintahan daerah saat ini telah berkembang pada pemerintahan yang lebih terbuka yang salah satunya ditandai oleh model-model pengembangan kerjasama dari tingkat lokal (Daerah) sampai dengan Internasional seperti Sister City. Bersamaan dengan hal ini, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik, tuntutan terhadap peningkatan kesejahteraan pun semakin meningkat. Disisi lain Pemerintah Daerah tentunya memiliki keterbatasan sumber daya seperti Dana, Sumber Daya Manusia (SDM), Lahan, dan peralatan/perlengkapan.
Untuk itulah kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak lain (dari lokal sampai dengan internasional) perlu dilakukan. Kerjasama atau kemitraan tersebut tentunya perlu dilakukan secara terus menerus, sehingga output/outcome dapat secara maksimal dirasakan, khususnya oleh masyarakat. Khusus mengenai kerjasama melalui kemitraan Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP), hal ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mampu menciptakan stimulus dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di Daerahnya. Kemitraan Pemerintah Swasta ini memiliki ciri-ciri diantaranya adalah :
a)      Adanya pembagian investasi dan resiko
b)      Adanya pembagian keuntungan
Komposisi dari nilai investasi yang disepakti dalam kemitraan ini (PPP), tidak menghilangkan kekuatan peran Pemerintah Daerah untuk tetap menjadi pihak yang bertanggungjawab atas pelayanan publik kepada masyarakat. Ginanjar Kartasasmita mengatakan bahwa kemitraan dalam pembangunan pada dasarnya mengandung hakekat keadilan dalam perolehan keuntungan dan manfaat, pembebanan biaya dan penanggungan resiko yang timbul dalam kegiatan tersebut
Terdapat beberapa tipe PPP yang diantaranya seperti yang disampaikan Caroline Paskarina yang mengadopsi dari Kumar dan Prasad, (Warta Bapeda Jabar) yaitu :
(a) Kontrak pelayanan
(b) Kontrak pengelolaan
(c) Sewa
(d) Konsesi build-operate-transfer
(e) Build-operate-own lepas
Manfaat yang diharapkan dengan adanya PPP ini yaitu :
a)      Dampak Biaya, diharapkan PPP mampu mereduksi biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah daerah. Hal ini dapat terjadi melalui pengurangan biaya overhead pemerintah daerah, jumlah staf yang lebih ramping, dan penelolaan yang lebih baik.
b)      Inovasi, Keterlibatan pihak swasta dalam kemitraan dengan Pemerintah daerah diharapkan memberikan dampak pada munculnya temuan-temuan baru, seperti metode yang lebih efektif dan efisien.
c)      Dampak pada kualitas, dengan adanya pihak swasta diharapkan ada persaingan yang sehat antar pihak swasta dalam memberikan kualitas pelayanan kepada mitranya (Pemerintah Daerah).

Beberapa prinsip dalam melakukan PPP yaitu :
(a) Saling Percaya
(b) Data yang lengkap mengenai apa yang akan dikerjakan
(c) Jaminan keuntungan
(d) Resiko yang dibagi secara proporsional
(e) Dukungan stakeholder

Beberapa hal yang sering menjadi kendala dalam menjalin kemitraan Pemerintah dengan Swasta diantaranya adalah :
(a) Ketidakpastian keuntungan yang besar.
(b) Birokrasi yang panjang.
(c) Belum mempunyai pola kerjasama yang saling menguntungkan.
(d) Kekhawatiran pada paradigma “ganti pemerintah ganti kebijakan”.
(e) Kekhawatiran dianggap sebagai kegiatan Kolusi Korupsi atau Nepotisme.




2.      Tanggungjawab Sosial Perusahaan / Corporate social Responsibility (CSR)
Dalam sudut pandang pemerintah, khususnya pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa CSR perlu diatur dengan sebuah Undang-undang dengan tujuan menjaga kualitas lingkungan dan kualitas sosial masyarakat. Hal ini terlihat dari UU PT No. 40 tahun 2007, yakni pasal 74 ayat 1 yang menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tangung jawab sosial dan lingkungannya. Ayat 2 berbunyi; tanggung jawab social dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3 menyatakan; perseroan yang tidak melaksanaan kewajiban sebagaimana pasal 1 dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Disamping itu sektor swasta juga, melalui kadin mengharapkan CSR hanya untuk perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam yang unrenewable (tidak dapat diperbaharui), dan pihak swasta memberikan tawaran lainnya berupa permintaan pemotongan pajak. Perbedaan visi pemerintah dan pihak swasta ini dapat dimaklumi, mengingat pemerintah memiliki kepentingan pada akselerasi pembangunan yang mungkin ingin lebih cepat serta untuk mempertahankan kualitas lingkungan yang belakangan pula banyak disoroti pihak luar negeri dan LSM. Kekhawatiran yang muncul dapat dimaklumi mengingat sektor swasta terkait dengan para stakeholder yang mungkin memiliki cara pandang berbeda terhadap penerapan CSR serta kepentingan para stakeholder yang dapat pula berbeda.
Konsep CSR mulai dipopulerkan pada tahun 1953 dengan terbitnya buku berjudul “Social Responsibilities of the Businessman” oleh Howard R. Bowen, yang periode selanjutnya isu-isu CSR terus berkembang pada tahun 1960-an yang dilandasi oleh permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan yang mulai mendapat perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Pada KTT Bumi (Earth Summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro ditegaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Tahun 2002 pada “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” di Yohannesburg, Afrika Selatan memunculkan konsep Social Responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu Economic and Environment Sustainability. Terlebih lagi pada tahun 2010 direncanakan akan diberlakukannya sertifikasi ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility, yang mencakup 7 isu pokok yaitu:
(a) Pengembangan Masyarakat
(b) Konsumen
(c) Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
(d) Lingkungan
(e) Ketenagakerjaan
(f) Hak asasi manusia
(g) Organizational Governance (tatakelola organisasi)

Beberapa definisi mengenai CSR (tanggungjawab social perusahaan) disampaikan oleh beberapa lembaga dunia dan local, diantaranya adalah menurut world bank yang mendefinisikan sebagai berikut :
“The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve the quality of life, in ways that are both good for business and good for development. ”.
Sementara itu The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai berikut :
“Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community at large.”
Lingkar Studi CSR Indonesia, menyatakan bahwa CSR adalah :
“Upaya sungguh sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan ”
Definsi CSR lain adalah yang dikutip Agatha dari buku Holme & Watts, 2000, yang berjudul “Corporate Social Responsibility : Making Good Business Sense”. dalam kutipan tersebut CSR di definisikan sebagai suatu komitmen yang berkelanjutan oleh para pembisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi pada pengembangan ekonomi, bahkan meningkatkan kualitas hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana hal nya pada komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
the European Commission’s Directorate-General for Enterprise and Industry, mendefinisikan CSR sebagai berikut:
“A concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”.

Dari beberapa definisi di atas, minimal ada tiga hal utama yang menjadi pokok dari CSR yaitu :
(a) Merupakan komitmen yang berkelanjutan dari perusahaan
(b) Kepedulian dan tindakan social
(c) Ada benefit yang dapat diperoleh perushaan.

Pada banyak literature mengenai CSR, tidak disebutkan bahwa CSR hanya untuk perusahaan yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam saja, namun CSR adalah merupakan bagian dari kegiatan perusahaan dalam membangun citra perusahaan (Building image). CSR dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan manfaat jangka panjang bagi perusahaan berupa kepercayaan dan loyalitas customers. Dengan kegiatan CSR sedemikian rupa, diharapkan customers dapat memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing perusahaan, apakah perusahaan tersebut listing di bursa saham atau tidak. Implementasi CSR diperusahaan tidak akan berjalan dengan baik manakala implementasinya berseberangan dengan kepentingan para stakeholder. Implementasi CSR, bagi stakeholder diharapkan tidak mengurangi kepentingannya, seperti stockholder misalnya, tentunya tidak menginginkan laba perusahaan berkurang karena dikurangi oleh biaya implementasi CSR.
Vittorio Colao, Chief Executive Officer of Vodafone Group Plc, mengatakan:
"Conducting business in a responsible manner is essential to the long-term commercial success of every business."
Untuk itu pelaksanaan CSR di sektor swasta dimungkinkan akan menghadapi kendala-kendala, terutama manakala terjadi perbedaan persepsi antara manajemen dengan stakeholders, khususnya pemegang saham. Namun demikian mempersamakan persepsi dan kepentingan secara terstruktur dan jelas, serta benefit jangka panjang yang dikalkulasi secara tepat, dapat mengurangi gap kepentingan antara manajemen dan pemegang saham.
Permasalahan perusahaan dengan masyarakat, berupa aksi perusakan asset perusahaan, serta demo karyawan terhadap perusahaan, dapat dijadikan sebagai salah satu parameter mengenai pelaksanaan tanggungjawab social perusahaan.
Perusahaan-perusahan yang telah mengintegrasikan implementasi CSR dalam budaya perusahaannya (Corporate culture) terbukti mendapatkan apresiasi yang baik dari masyarakat sekitar dan dari para karyawannya, serta mendapatkan kepercayaan dan loyalitas customer yang lebih tinggi. Walaupun kepercayaan dan loyalitas ini diperoleh dengan investasi yang tidak sedikit dan dalam jangka panjang benefit tersebut baru dapat dirasakan. Dengan demikian CSR merupakan suatu bagian dari Good corporate governance yang menganggap lingkungan, masyarakat dan karyawan sebagai suatu kontributor dalam mempertahankan kelangsungan perusahaan.
3.      Pembangunan Lingkungan
Pembangunan lingkungan seringkali bertubrukan dengan kepentingan ekonomi, yang berdampak pada rusaknya lingkungan berupa penurunan kualitas udara, penurunan kualitas air, penurunan kualitas tanah dan lain-lain. Entitas Pengusaha tentu berharap aset yang dimiliki akan memberikan keuntungan yang maksimum, dan berharap pula bahwa biaya produksi dapat seefisien mungkin. Kualitas lingkungan bagi banyak perusahaan menjadi prioritas kesekian, yang pada akhirnya terjadi kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan.
Paradigma pembangunan berkelanjutan seolah menjadi suatu wacana yang tak kunjung terlaksana. Pembangunan berkelanjutan dimaksud merupakan konsepsi yang telah dikumandangkan cukup lama. Secara implisit, hasil KTT Perserikatan Bangsa-bangsa di Rie de janeiro pada tahun 1992 bahwa model Pembangunan berkelanjutan mencakup bagaimana generasi yang akan datang memperoleh manfaat lingkungan yang sama dengan masa kini. Prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut dapat dijadikan parameter dalam melihat sejauhmana kebijakan pembangunan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pada tinkat pemerintahan daerah, perizinan suatu usaha produksi (manufaktur) dan jasa tentunya melalui prosedur yang ketat terutama amdal. Namun demikian sering kali pada tahap pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu contoh perizinan untuk ruang kantor (Ruko), banyak dijumpai ruko-ruko yang seluruh areanya terpakai untuk gedung dan parkir, tanpa ada ruang terbuka hijau, padahal dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, nomor 05/PRT/M/2008, harus disediakan ruang terbuka hijau privat 10%.
4.      Model Kemitraan
Berdasarkan pada konsep PPP, CSR dan Pengembangan lingkungan maka terdapat berbagai model kemitraan yang dapat dilakukan. Diantaranya :
a)      Pemerintah daerah selaku pemegang kebijakan pembangunan di daerah mensosialisasikan ruang-ruang yang dapat dilakukan CSR dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan.
b)      Kegiatan CSR perusahaan dapat diarahkan pada peningkatan objek yang disampaikan Pemerintah daerah.
Beberapa asumsi untuk melakukan ini adalah :
a)      Pemerintah memiliki data kondisi lingkungan yang valid.
b)      Pihak Swasta memiliki kemauan dalam mengimplementasikan CSR pada bidang pembangunan lingkungan di daerah.
c)      Adanya sinkronisasi data yang dimiliki Pemerintah Daerah dengan pihak Swasta yang akan melakukan program CSR.
d)     Secara berlanjut perkembangan hasil dari program CSR ini di monitor oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah memiliki data aktual tentang kondisi lingkungannya.
e)      Tidak selalu program CSR itu dilakukan oleh Perusahaan berskala besar, dan tidak selalu harus perusahaan manufaktur, perusahaan jasa seperti perhotelan, perdagangan, lembaga pendidikan dan lain-lain perlu didorong untuk mengimplementasikan CSRnya.

Berdasarkan asumsi bahwa kemitraan ini (PPP) akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang maka, diperlukan suatu lembaga yang mampu menyediakan data secara valid/ril serta mensosialisasikannya kepada stakeholder dalam PPP ini.

5.      Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan diantaranya adalah :
a)      Model Kemitraan yang umum dilakukan adalah model kemitraan dalam pembangunan lingkungan hidup.
b)      Pihak Pemerintah daerah dan Swasta dapat membentuk model kemitraan khusus untuk Pembangunan lingkungan di daerah melalui implementasi CSR.

Untuk menindaklanjuti dari PPP dalam pembangunan lingkungan melalui Program CSR perlu dibentuk suatu lembaga yang secara serius dan inten melakukan kajian-kajian lingkungan di daerah- daerah dan memonitoring serta mengevaluasi implementasi kemitraan ini.

















BAB III
PENUTUP

Adanya keterbatasan dan ketimpangan baik potensi maupun sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah, mensyaratkan pemerintah daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk menggali potensi daerahnya melalui pengembangan kerjasama kemitraan strategis baik itu antar daerah maupun dengan badan usaha daerah (BUMD), swasta dan masyarakat.

Terdapat beberapa dasar pertimbangan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam rangka mengembangkan kerjasama kemitraan strategis antar daerah, BUMD, swasta dan masyarakat, yaitu antara lain:
a)      Efisiensi dan kualitas; kerjasama kemitraan merupakan sarana dalam rangka meningkatkan efisiensi dan peningkatan kualitas pelayanan (service delivery) publik kepada masyarakat. Persyaratan ini menjadi sangat penting manakala kemitraan yang dibangun adalah dengan pihak swasta melalui penyertaan modal ataupun bentuk kontrak (contracting out);
b)      Efektivitas; setiap organisasi dalam rangka mencapai tujuannya dituntut untuk mencapai sasaran yang ditetapkan semaksimal mungkin (efektif) dan dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin (efisien). Namun demikian seringkali suatu organisasi tidak mampu mencapai tujuannya secara efektif karena berbagai dinamika internal yang sering memunculkan resistensi. Dinamika internal ini cenderung mematikan kreativitas organisasi. Dalam hal ini organisasi dihadapkan pada monitoring dan pengendalian terhadap dinamika internal untuk mencegah terganggunya pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Untuk meningkatkan kemampuan monitoringini suatu organisasi perlu mendelegasikan pekerjaan pada pihak lain dalam suatu sistem kontrak. Dengan sistem kontrak ini, pemilik akan lebih mudah mengontrol hasil pekerjaan sebagaimana yang diharapkan sehingga hasil yang diinginkan bisa tercapai secara efektif;
c)      Memacu dinamika organisasi; dengan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi mitra kerjasama pemerintah maka hal ini akan membuka peluang usaha lebih banyak bagi masyarakat. Sebagaimana diketahui jumlah pengeluaran pemerintah merupakan bagian yang sangat besar dalam kehidupan ekonomi nasional. Apabila jumlah uang tersebut dialirkan ke swasta atau masyarakat maka ini akan memacu pertumbuhan dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat;
d)     Berbagi resiko dan keuntungan (risk and benefit sharing); setiap kegiatan selalu membawa resiko. Dengan Kerjasama yang dibangun dengan pihak lain maka diharapkan resiko yang akan terjadi dapat dibagi rata (risk sharing) dengan pihak mitranya.


PUSTAKA

Indra Surya, SH.LLM, dan Ivan Yustiavandana,SH.LLM, 2006,”Penerapan Good Corporate Governance”, Prenada Media Group, Jakarta, Indonesia.
Jalal dan Reza Ramayana, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) serta Kemitraan Tiga Sektor (tri-sector partnership) untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten-Kabupaten di Madura, Lingkar Studi CSR, A+ CSR Indonesia
Peter Wright Mark J. Kroll John A Parnel, 1998, Strategic Management (Concepts and Case) 4th Edition, Prentice Hall Int L Inc USA
The Corporate Social Responsibility (CSR) web-pages of the European Commission’s Directorate-General for Enterprise and Industry, www.ec.europa.eu
www. Republika.co.id, Senin, 30 Mei 2005
Website Dinas Perindustrian & Perdagangan Jawa Barat Rubrik : PUBLIKASI [News] Etika Bisnis, Corporate Social Responsibility (CSR), dan PPM 27 Nov 2002 00:00
Warta Bapeda Jabar, www.bapeda-jabar.go.id
www.ginandjar.com

1 komentar: