BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pengembangan
kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat pada
dasarnya erat kaitannya dengan domain administrasi publik melalui “reform to public
administration”. Public administration reform di sektor pemerintahan bermuara
pada “good governance” sedangkan pada sector swasta (perusahaan) adalah
bermuara pada “good corporate governance”. Perubahan paradigma administrasi
publik yang merupakan salah satu pendorong tumbuh dan berkembangnya konsep dan
model kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat
telah diilhami oleh beberapa pemikiran yang antara lain adalah David Osborne
dan Peter Plastrik dalam “Banishing Bureucracy” yang pada intinya adalah
mewirausahakan birokrasi melalui 5 strategi (5 core strategies, 5Cs) dan David
Osborne dan Ted Gaebler dalam “Reinventing Government” yang pada intinya adalah
mentransformasi semangat wirausaha ke dalam sektor publik, dimana pemerintah
harus mampu berperan sebagai katalisator, yang tidak melaksanakan sendiri
pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat.
Selain itu pemerintah harus dapat memberdayakan masyarakat dalam pemberian
pelayanan, serta dapat menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan, dengan
demikian maka sektor usaha swasta dan pemerintah dapat bekerja secara lebih
profesional dan efisien.
Sejalan
dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah, pemerataan dan keadilan, maka efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan
tantangan yang dihadapi daerah melalui pengembangan hubungan antar susunan
pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, serta kerjasama kemitraan strategis
antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat.
Sebagai
upaya mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan strategis tersebut, pemerintah
telah mengeluarkan landasan yang cukup kuat bagi pemerintah daerah melalui
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan 196
yang mengatur tentang pelaksanaan kerjasama antar daerah, Badan Usaha Daerah
(BUMD), dengan pihak ketiga.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Pentingnya
kerjasama pemerintah daerah dengan BUMD dan swasta menurut Chang & Rowthord
dalam Nining I. Soesilo (2000) adalah karena:
(1) negara/pemerintah bukan paling hebat dalam menaikkan kesejahteraan
rakyat;
(2) kegagalan pemerintah lebih serius dari kegagalan swasta;
(3) dari sudut pandang institusional economy;
(4) negara cenderung reaktif bukan
proaktif terhadap pasar.
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur
Disamping
itu saat ini telah banyak dikembangkan kerjasama kemitraan strategis baik antar
daerah maupun dengan badan usaha daerah (BUMD) serta swasta dan masyarakat.
Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan pentingnya
pengembangan kerjasama kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah, BUMD, swasta
dan masyarakat; konsep dan model kerjasama kemitraan strategis, model-model
kerjasama kemitraan strategis yang telah dikembangkan di beberapa Daerah
Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia.
v KONSEP DAN MODEL KERJASAMA KEMITRAAN
STRATEGIS
Pengembangan
kerjasama kemitraan strategis khususnya disektor publik pada dasarnya banyak
terinspirasi oleh adanya perubahan paradigma administrasi publik sebagaimana
disampaikan oleh David Osborne dan Peter Plastrik dalam Mustopadidjaja, AR
(2003) yaitu konsep mewirausahakan birokrasi melalui 5 strategi (5 core
strategies, 5Cs) yaitu:
Ø
Strategi Inti (Centre Strategy),
yakni menata kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi;
Ø
Strategi Konsekuensi (Consequency
Strategy), yakni strategi yang mendorong persaingan sehat guna meningkatkan
motivasi dan kinerja pegawai;
Ø
Strategi pelanggan (Customer
Strategi), yaitu memusatkan perhatian untuk bertanggung jawab terhadap
pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepastian mutu
bagi pelanggan;
Ø
Strategi Kendali (Control Strategy),
yaitu merubah lokasi dan bentuk kendali di dalam organisasi. Kendali dialihkan
kepada lapisan organisasi paling bawah, yaitu pelaksanaan atau masyarakat.
Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi, dan misi yang telah ditentukan.
Ø
Strategi Budaya (Cultural Strategy),
yakni merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan,
emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap budaya organisasi
publik inipun berubah (tidak lagi memandang rendah).
Selanjutnya David Osborne dan Ted Gaebler dalam Reinventing Government, yang antara lain menetapkan 10 prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan :
1)
Sterring rather than rowing;
2)
Empower Comunities to solve their
own problems, rather than merely deliver services;
3)
Promote and encourage competition,
rather than monopolies.
4)
Be driven by mission rather than
rules;
5)
Result oriented by funding outcomes
rather than outputs;
6)
Meet the needs of the customer
rather those of the bureaucracy;
7)
Concentrate on earning money rather
than just spending it;
8)
Invest in preventing problems rather
than curing crises;
9)
Decentralize authority rather than
build hierarchy;
10) Solve
problem by influencing market forces rather than by treating public programs.
Dari 10
prinsip reinventing government tersebut ada beberapa prinsip yang perlu
dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka membangun konsep dan model
kerjasama kemitraan strategis antara BUMD, swasta dan masyarakat diantaranya adalah
:
ü
Sterring rather than rowing.
Pemerintah Daerah harus dapat berperan sebagai katalisator, yang tidak
melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang
ada di masyarakat. Dengan demikian pemerintah daerah perlu lebih mengoptimalkan
penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan public;
ü
Empower Comunities to solve their
own problems, rather than merely deliver services. Pemerintah daerah harus
memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanannya, ini perlu dilakukan oleh
Pemerintah Daerah untuk lebih memberdayakan masyarakat;
ü
Promote and encourage competition,
rather than monopolies. Pemerintah daerah harus dapat menciptakan persaingan
dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan tersebut, maka sektor usaha
swasta dan pemerintah daerah dapat bersaing dan bekerja secara lebih
profesional dan efisiensi;
ü
Meet the needs of the customer
rather those of the bureaucracy. Pemerintah daerah harus mengutamakan pemenuhan
kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan birokrat, hal tersebut dilakukan dalam
rangka lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Terkait
dengan kerjasama kemitraan strategis terdapat beberapa konsep dan model yang
telah dikembangkan antara lain adalah :
(1) kerjasama antar daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota
dengan pihak ketiga;
(2) kerjasama kemitraan strategis;
(3) kerjasama kemitraan dalam bentuk aliansi
strategis; dan
(4) kerjasama kemitraan terpadu (KKT).
v Konsep dan Model Kerjasama Antar
Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan Pihak Ketiga
Upaya-upaya pengembangan otonomi
daerah yang bertumpu pada potensi dan kapasitas daerah dilakukan melalui
berbagai kajian otonomi daerah, dan identifikasi kewenangan daerah.
Langkah-langkah ini diarahkan untuk mengurangi kesenjangan yang ada dalam
rangka mengoptimalkan potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan potensi dan kapasitas daerah perlu dilakukan melalui kerjasama
kemitraan lintas sector yang bertujuan menciptakan iklim yang kondusif antar
Pemerintah Daerah dengan memanfaatkan peluang nasional, regional dan global
guna kepentingan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi Negara Undang-undang
Dasar 1945.
Sebagai landasan dalam rangka
mewujudkan peningkatan potensi dan kapasitas daerah untuk kesejahteraan
masyarakat daerah melalui pengembangan kerjasama antar daerah, BUMD, swasta dan
masyarakat telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan 196 yang menyatakan bahwa :
(1)
Dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang
didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,
senergi dan saling menguntungkan;
(2)
Kerjasama dimaksud dapat diwujudkan
dalam bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur dengan keputusan
bersama;
(3)
Dalam penyediaan pelayanan publik,
daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga;
(4)
Kerja sama antar daerah dan
kerjasama dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah harus
mendapatkan persetujuan DPRD.
Selanjutnya Pasal 196 UU 32 tahun 2004 menyatakan bahwa :
1)
Pelaksanaan urusan pemerintahan yang
mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait;
2)
Untuk menciptakan efisiensi, daerah
wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk
kepentingan masyarakat;
3)
Untuk pengelolaan kerjasama dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dan
untuk menciptakan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan publik daerah dapat
membentuk badan kerja sama.
Terkait dengan pengembangan kerjasama antara
pemerintah daerah, BUMD dan pihak ketiga, sebenarnya sudah diatur sejak tahun
1986, yaitu sejak dikeluarkannya PERMENDAGRI Nomor 3 Tahun 1986 tentang
Penyertaan Modal Daerah, dimana terdapat 5 bentuk Kerjasama antara pemerintah
dengan swasta, yaitu:
1) Kerjasama bagi hasil usaha,
2) Kerjasama produksi,
3) Kerjasama manajemen,
4) Kerjasama bagi tempat usaha, dan
5) Kerjasama bagi keuntungan.
1) Kerjasama bagi hasil usaha,
2) Kerjasama produksi,
3) Kerjasama manajemen,
4) Kerjasama bagi tempat usaha, dan
5) Kerjasama bagi keuntungan.
Dengan dikeluarkannya Permendagri
tersebut, maka daerah mempunyai peluang untuk membangun kerjasama antar daerah
pemerintah daerah dengan pihak swasta, swastanisasi dan keterlibatan sector
swasta dalam kegiatan pemerintahan dan kegiatan yang dikembangkan pemerintah
daerah, membeli saham dalam suatu perusahaan perseroan terbatas yang ada (PT),
mendirikan perusahaan perseroan terbatas (PT), mengadakan kontrak manajemen,
kontrak produksi, kontrak bagi hasil dan kontrak pembagian lokasi bisnis.
Sebagai
tindak lanjut Kepmendagri No. 3 tahun 1986, Menteri Dalam Negeri lebih lanjut
mengeluarkan PERMENDAGRI No. 4 Tahun 1990, tentang pedoman bagi kerjasama
antara perusahaan-perusahaan pemerintah daerah (BUMD) dengan pihak ketiga
(sektor swasta), untuk :
(1)
membentuk perusahaan patungan,
operasi bersama, saham keuntungan bersama, pengeluaran bersama, saham produksi
bersama;
(2)
mengadakan negosiasi kontrak
manajemen, kontrak produksi, pembagian kontrak produksi, dan pembagian kontrak
lapangan;
(3)
membeli saham-saham dari perusahaan
perseroan terbatas lainnya;
(4)
menetapkan hak penjualan, penggunaan
dan distribusi;
(5)
menjual saham, obligasi, menyebarkan
saham;
(6)
mendapatkan bantuan teknis dan
bantuan asing.
Bentuk kerjasama yang bersifat
kemitraan strategis antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga (swasta)
Berkaitan dengan kerjasama kemitraan strategis, The Kian Wie (1992) dalam dialog kemitraan dan keterkaitan antara usaha besar dan kecil, menyatakan bahwa “ agar pelaksanaan kerjasama kemitraan dapat berkelanjutan (sustainable) antara satu pihak dengan pihak lain, maka harus berdasarkan pada tiga azas Kerjasama yaitu:
Berkaitan dengan kerjasama kemitraan strategis, The Kian Wie (1992) dalam dialog kemitraan dan keterkaitan antara usaha besar dan kecil, menyatakan bahwa “ agar pelaksanaan kerjasama kemitraan dapat berkelanjutan (sustainable) antara satu pihak dengan pihak lain, maka harus berdasarkan pada tiga azas Kerjasama yaitu:
1)
saling membutuhkan dengan unsur:
motivasi hubungan kerjasama, jenis/ bidang kerjasama dan sistem pengelolaan
kerjasama;
2)
saling memperkuat dengan unsur:
jenis dan syarat kerjasama, dampak dari kerjasama;
3)
saling menguntungkan dengan unsur:
pengembangan aspek ekonomi dan kesejahteraan, pengembangan aspek cultural.
Bentuk-bentuk
kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah dengan
pihak ketiga yang selama ini telah dikembangkan antara lain :
ü
Kerjasama Bangun-Kelola-Sewa-Serah
(Build, Operate, Lease-hold and Transfer/ BOLT). Merupakan bentuk Kerjasama
antara Pemerintah Daerah dan Pihak Kedua yang memberikan hak kepada pihak kedua
untuk membangun suatu infrastuktur atau bangunan di atas tanah yang dimiliki
Pemerintah Daerah kemudian mengelolanya dengan menyewakan kepada pihak lain.
Sebagai imbalan Pemerintah Daerah menerima bagian dari hasil sewa dengan jumlah
yang disepakati bersama pihak kedua.
ü
Kerjasama Bangun-Serah-Sewa (Build,
Transfer and Leasehold = BTL). Dalam kerjasama ini pihak kedua membangun
infrastruktur di atas tanah Pemerintah Daerah, dan setelah selesai ia
menyerahkannya kepada Pemerintah Daerah. Bentuk Kerjasama yang belum banyak dilakukan
oleh pemerintah pusat maupun Daerah ini dapat dilakukan untuk membangun
infrastruktur berupa hotel, convention hall, dsb.
ü
Kerjasama Bangun-Sewa-Serah (Build,
Rent and Transfer = BRT). Bentuk Kerjasama ini hampir sama dengan BTL, bedanya
hanyalah dalam BRT pihak kedua dapat mengelola dan mengoperasikan bangunan atau
infrastruktur yang telah dibangunnya dengan cara menyewa kepada Pemerintah,
yang diperhitungkan dari biaya pembangunan.
ü
Kerjasama Bangun-Kelola-Alih Milik
(Built, Operate, and Transfer = BOT). Pihak kedua membangun dan mengoperasikan
suatu fasilitas infrastruktur yang kemudian dipindah tangankan kepada
pemerintah daerah setelah masa konsesi habis.
ü
Kerjasama Bangun-Guna-Milik (Build
Own Operate = BOO). Tidak seperti pada pendekatan BOT, perusahaan swasta yang
memenangkan konsensi proyek BOO tetap memiliki hak terhadap proyek tersebut
setelah masa konsensi usai. Bentuk kerjasama ini biasanya dilakukan terhadap
obyek yang output-nya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak misalnya
listrik, gas dan sebagainya.
ü
Kerjasama Bangun-Serah (Build and
Tranfer = BT). Dalam kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta kepada pihak kedua
untuk membangun prasarana di atas tanah milik Pemerintah Daerah. Pihak kedua
membangun dan membiayai sampai dengan selesai, dan setelah pembangunan selesai
pihak kedua menyerahkan kepada Pemda. Sebagai imbalannya Pemerintah Daerah
membayar biaya prasarana ditambah bunga Bank.
ü
Kerjasama Bangun-Serah-Kelola (Build
transfer operate = BTO). Dalam pola ini, pihak swasta membangun suatu fasilitas
infrastruktur di atas tanah miliki Pemerintah Daerah dan menyerahkan fasilitas
tersebut kepada pemerintah setelah fasilitasnya terbangun.
ü
Kerjasama Rehabilitasi-Guna-Serah
(Renovate, Operate and Transfer = ROT). Dalam kerjasama ini pihak kedua
menyediakan modal dan melakukan renovasi atas bangunan atau fasilitas lain yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah hingga nilainya meningkat. Obyek kerjasama ini
biasanya dapat dilakukan terhadap pembangunan hotel, pusat perbelanjaan dsb.
ü
Kerjasama Renovasi-Guna-Sewa-Serah
(Renovate, Operate, Leashehold and Tranfer = ROLT). Berbeda dengan bentuk
Kerjasama ROT, Pihak kedua merenovasi bangunan atau bentuk fasilitas lain yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah namun untuk menggunakannya ia harus menyewa
kepada Pemda.
ü
Kerjasama Sewa-Tambah dan Guna
(Contract, Add and Operate = CAO). Dalam kerjasama ini pihak kedua menyewa dan
menambah bangunan dan atau mening-katkan kualitas bangunan dan mengelolanya.
Nilai sewa bangunan setiap 2 tahun ditinjau kembali. Jangka waktu kerjasama
paling lama 10 tahun.
ü
Kerjasama Bantuan teknis atau Dana.
Dalam kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta bantuan berupa tenaga ahli/alih
teknologi atau bantuan dana/pembiayaan dari pihak kedua. Kerjasama ini
dilakukan untuk bidang usaha yang memerlukan teknologi atau managerial skill
dan know how khusus yang tidak dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
ü
Kontrak Pelayanan (service
contract). Dalam pola ini perusahaan swasta menangani suatu pelayanan atau
terhadap infrastruktur yang dimiliki pemerintah daerah. Contoh yang dapat
dilakukan oleh swasta melalui kontrak pelayanan ini adalah pengumpul-an limbah
sampah di kota-kota, pemeliharaan fasilitas air minum dan tenaga listrik,
tagihan air minum dan listrik.
v Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan
Strategis Dalam Bentuk Aliansi Strategik
Pengertian
aliansi strategik menurut Jones dalam Kajian LAN (2003) adalah suatu
kesepakatan yang mengikat dua atau lebih organisasi untuk berbagai sumber daya
dalam rangka mengembangkan peluang-peluang usaha bersama. Selanjutnya
disebutkan bahwa strategi aliansi stratejik dapat diterapkan baik dalam
mengelola sumber daya dalam saling ketergantungan yang bersifat simbiotik
maupun yang bersifat kompetitif.
Sedangkan
Porter menyebutkan bahwa koalisi atau aliansi merupakan suatu cara untuk
memperluas cakupan tanpa memperluas organisasi melalui suatu kontrak dengan
organisasi independen untuk mewujudkan nilai atas kegiatan atau melalui
pembentukan Tim dengan organisasi independen untuk berbagi nilai atas kegiatan
tersebut (Ibid: 2003).
Berdasarkan
hasil kajian LAN (2003), aliansi stratejik dipahami sebagai suatu kerjasama
dari dua atau lebih pelaku (party/partner, dalam hal ini pemerintah daerah)
berdasarkan pada kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan bersama dimana
masing-masing pelaku memberikan komitmen, menyumbangkan sumberdaya, dan
berperan aktif dalam mengelola (managing, controlling) aliansi dimaksud.
Model-model kerjasama dalam bentuk aliansi stratejik yang telah dikembangkan selama ini antara lain :
Model-model kerjasama dalam bentuk aliansi stratejik yang telah dikembangkan selama ini antara lain :
Ø
Kerjasama Operasi (KSO), bentuk
Kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahaan Daerah) dengan
pihak lain (swasta) untuk mengusahakan suatu peralatan operasi atau fasilitas
penyediaan pelayanan (misalnya air bersih), dimana sistem operasi dan kepemilikannya
diatur dalam kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama;
Ø
Kerjasama Manajemen (KM), bentuk
kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahaan Daerah) dengan
pihak lain untuk menyelenggarakan suatu kegiatan tertentu yang bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan karyawan, baik dalam bidang operasi
dan produksi, usaha dan pemasaran sumberdaya manusia, keuangan dan akuntansi,
organisasi dan manajemen, hukum dan hubungan masyarakat, sistem informasi,
maupun dalam bidang pengkajian dan pengembangan;
Ø
Penyertaan Modal (PM), bentuk
kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (pemerintah
daerah/perusahaan Daerah) menyertakan modalnya dalam kegiatan kerjasama usaha;
Ø
Perusahaan Patungan (PP), adalah
bentuk kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (pemerintah
daerah/perusahaan Daerah) dengan pihak lain, dimana masing-masing pihak yang
terlibat dalam Kerjasama usaha menyertakan modal dan/atau sumberdaya lainnya
untuk membentuk suatu badan usaha tertentu. Pembagian resiko dan keuntungan
usaha dilakukan menurut kesepakatan berdasarkan penyertaan yang diberikan.
v Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan
Terpadu (KKT)
Kerjasama
Kemitraan Terpadu (KKT) adalah suatu program kejasama kemitraan terpadu yang melibatkan
beberapa unsur {(pengusaha besar (inti), usaha kecil yang ada dimasyarakat
(plasma), perbankan, pemerintah daerah)} dalam ikatan kerjasama yang dituangkan
dalam nota kesepakatan bersama. Adapun tujuan kerjasama kemitraan terpadu
antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan
keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma,
membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan
efisien serta membantu pemda memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup dan perekonomian daerah.
Model
kerjasama kemitraan terpadu antara perusahaan swasta (inti), mayarakat
(plasma), perbankan dan pemda yaitu dengan mengadakan kerjasama secara langsung
melalui nota kesepahaman (MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Model kerjasama kemitraan terpadu yang telah dikembangkan selama ini
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Dengan model
kerjasama seperti tersebut di atas, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada
usaha kecil (plasma) dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Channeling
Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh kelompok-kelompok usaha
kesil. Sedangkan masalah pembinaan diberikan oleh perusahaan mitra dan
pemerintah daerah.
Disamping
kerjasama kemitraan terpadu dalam bentuk Chanelling Agent Model tersebut di
atas, juga telah dikembangkan kerjasama kemitraan terpadu dalam bentuk
Executing Agent Model,
v Kerjasama Kemitraan Strategis (Model
Kluster Bisnis)
Fujita &
Thisse dalam Mudrajad Kuncoro (2002) menyatakan bahwa fenomena kluster telah
menarik perhatian para ekonom untuk terjun dalam studi dalam masalah lokasi
sehingga memunculkan paradigma baru yang disebut geografi ekonomi baru (new
economic geography atau geographical economic). Argumen tersebut diperkuat
kembali oleh Porter, bahwa peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh apa yang
dinamakannya kluster (cluster). Selanjutnya definisi kluster menurut Porter
adalah konsentrasi geografi dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi
yang saling berhubungan dalam wilayah tertentu. Lebih lanjut Mudrajad Kuncoro
menyatakan bahwa kluster industri (Industrial Cluster) pada dasarnya merupakan
kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya
berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri utama saja.
Beberapa model kerjasama kemitraan strategis dalam bentuk kluster bisnis telah banyak dikembangkan,
Beberapa model kerjasama kemitraan strategis dalam bentuk kluster bisnis telah banyak dikembangkan,
Pada
kerjasama kemitraan stratregis model kluster bisnis tersebut di atas, layanan
kepada kelompok usaha dapat lebih fokus, kolektif dan efisien, karena dengan
sumber daya yang terbatas dapat menjangkau kelompok usaha yang lebih luas.
Disamping itu model kluster bisnis ini juga mempunyai efektifitas yang tinggi,
karena jelas sasarannya dan unit usaha yang ada pada sentra umumnya mempunyai
permasalahan yang sama, baik dari sisi produksi, pemasaran, teknologi maupun
permodalan.
Disamping
Kerjasama Kemitraan Strategis (Model Kluster Bisnis) tersebut diatas, juga
telah dikembangkan kerjasama kemitraan dalam model jaringan bisnis sentra
industri,
Pada model
kerjasama jaringan bisnis sentra industri ini terdiri dari banyak sekali unit
usaha sejenis dengan spesifikasi kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang
setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau dari yang kurang
nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya.
Untuk
menjamin agar pelaksanaan kerjasama kemitraan strategis antara Pemerintah
Daerah, BUMD, swasta dan masyarakat dapat berhasil dengan baik, maka perlu
diupayakan oleh berbagai pihak yang terkait, yaitu:
(1)
Komitmen (commitment), merupakan
kesepakatan mendalam dari semua pihak yang yang terkait berhubungan dengan
upaya mewujudkan suatu keberhasilan. Komitmen hanya dapat tercipta apabila
terdapat prakondisi yang mendukung, yaitu antara lain:
a)
tersedianya informasi yang sahih
dalam organisasi (valid information);
b)
kesepakatan untuk membuat pilihan
bebas (choice);
c)
saling percaya diantara sesama warga
organisasi (trust);
d)
ketentuan yang konstruktif dan
dinamis (openess);
e)
mengembangkan rasa tanggungjawab
pada organisasi (responsibility);
f)
keterlibatan setiap warga untuk
berkonsultasi secara optimal (involvement).
(2)
Kemitraan (Alignment) yaitu adanya
kebersamaan dalam kesetaraan untuk mencapai satu kesamaan derap langkah, irama
dan arah perjalanan organisasi. Kemitraan juga bermaksud penggalangan kekuatan
untuk menciptakan nilai tambah dari ikatan yang telah dibuat bersama. Beberapa
kondisi yang diperlukan demi terwujudnya kemitraan antara lain:
a.
adanya tata nilai, suasana dan
kekuasaan menjadi mitra bersama (shared values, norms and power);
b.
adanya suasana kesederajatan dalam
berbagai aspek kerjasama (equality);
c.
adanya jaringan kerja yang saling
menunjang pertumbuhan bersama (networking); dan
d.
adanya kerjasama yang efektif dan
produktif (collaboration).
(3)
Pemberdayaan (Empowerment), yaitu
adanya proses transformasi ataupun instruksi dari berbagai pihak yang berdampak
pada saling menumbuhkan, saling meningkatkan, saling memperkuat dan menambah
nilai daya yang secara potensial terdapat dalam organisasi untuk diarahkan
sebagai energi organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Beberapa kondisi yang
perlu diciptakan untuk dapat mewujudkan pemberdayaan, antara lain:
a)
adanya dorongan untuk berani mencoba
mengambil bagian dalam proses pembaharuan yang dilakukan dalam organisasinya
(encouragement);
b)
diberikannya tantangan bagi para
pelaksana pembaharuan untuk dapat bergerak dan termotivasi dalam proses
pembaharuan (chalenger);
c)
diberikannya peluang untuk terlibat
dan mengambil peran dalam proses pembaharuan (opportunity);
d)
pemberian kesempatan untuk mengikuti
pelatihan dan diberikan bimbingan dalam dalam mencoba melaksanakan suatu
inovasi (training and guidance);
e)
pemberian dukungan baik moril maupun
pendukung lainnya, sehingga pihak yang bersangkutan dapat ikut dalam proses
pembaharuan (support);
f)
disediakannya penghargaan yang tepat
untuk setiap keberhasilan dalam melaksanakan atau mencoba suatu pembaharuan
(reward).
KEMITRAAN
PEMERINTAH DAERAH DAN SWASTA DALAM MENCIPTAKAN LINGKUNGAN HIJAU MELALUI CSR
1. Kemitraan Pemerintah Swasta
Pasca UU otonomi Daerah, Perkembangan tatakelola pemerintahan daerah saat
ini telah berkembang pada pemerintahan yang lebih terbuka yang salah satunya
ditandai oleh model-model pengembangan kerjasama dari tingkat lokal (Daerah)
sampai dengan Internasional seperti Sister City. Bersamaan dengan hal ini,
tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik, tuntutan terhadap
peningkatan kesejahteraan pun semakin meningkat. Disisi lain Pemerintah Daerah
tentunya memiliki keterbatasan sumber daya seperti Dana, Sumber Daya Manusia
(SDM), Lahan, dan peralatan/perlengkapan.
Untuk itulah kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak lain (dari
lokal sampai dengan internasional) perlu dilakukan. Kerjasama atau kemitraan
tersebut tentunya perlu dilakukan secara terus menerus, sehingga output/outcome
dapat secara maksimal dirasakan, khususnya oleh masyarakat. Khusus mengenai
kerjasama melalui kemitraan Pemerintah dan Swasta (Public Private
Partnership/PPP), hal ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan
publik dan mampu menciptakan stimulus dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat di Daerahnya. Kemitraan Pemerintah Swasta ini memiliki ciri-ciri
diantaranya adalah :
a) Adanya pembagian investasi dan resiko
b) Adanya pembagian keuntungan
Komposisi dari nilai investasi yang disepakti dalam kemitraan ini (PPP),
tidak menghilangkan kekuatan peran Pemerintah Daerah untuk tetap menjadi pihak
yang bertanggungjawab atas pelayanan publik kepada masyarakat. Ginanjar
Kartasasmita mengatakan bahwa kemitraan dalam pembangunan pada dasarnya
mengandung hakekat keadilan dalam perolehan keuntungan dan manfaat, pembebanan
biaya dan penanggungan resiko yang timbul dalam kegiatan tersebut
Terdapat beberapa tipe PPP yang diantaranya seperti yang disampaikan
Caroline Paskarina yang mengadopsi dari Kumar dan Prasad, (Warta Bapeda Jabar)
yaitu :
(a) Kontrak pelayanan
(b) Kontrak pengelolaan
(c) Sewa
(d) Konsesi build-operate-transfer
(e) Build-operate-own lepas
Manfaat yang diharapkan dengan adanya PPP ini
yaitu :
a)
Dampak
Biaya, diharapkan PPP mampu mereduksi biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh
Pemerintah daerah. Hal ini dapat terjadi melalui pengurangan biaya overhead
pemerintah daerah, jumlah staf yang lebih ramping, dan penelolaan yang lebih
baik.
b)
Inovasi,
Keterlibatan pihak swasta dalam kemitraan dengan Pemerintah daerah diharapkan
memberikan dampak pada munculnya temuan-temuan baru, seperti metode yang lebih
efektif dan efisien.
c)
Dampak pada
kualitas, dengan adanya pihak swasta diharapkan ada persaingan yang sehat antar
pihak swasta dalam memberikan kualitas pelayanan kepada mitranya (Pemerintah
Daerah).
Beberapa prinsip dalam
melakukan PPP yaitu :
(a) Saling Percaya
(b) Data yang lengkap mengenai apa yang akan dikerjakan
(c) Jaminan keuntungan
(d) Resiko yang dibagi secara proporsional
(e) Dukungan stakeholder
Beberapa hal yang sering menjadi kendala dalam menjalin kemitraan
Pemerintah dengan Swasta diantaranya adalah :
(a) Ketidakpastian keuntungan yang besar.
(b) Birokrasi yang panjang.
(c) Belum mempunyai pola kerjasama yang saling menguntungkan.
(d) Kekhawatiran pada paradigma “ganti pemerintah ganti kebijakan”.
(e) Kekhawatiran dianggap sebagai kegiatan Kolusi Korupsi atau Nepotisme.
2. Tanggungjawab Sosial Perusahaan / Corporate social Responsibility (CSR)
Dalam sudut pandang pemerintah, khususnya pemerintah Republik Indonesia
menganggap bahwa CSR perlu diatur dengan sebuah Undang-undang dengan tujuan
menjaga kualitas lingkungan dan kualitas sosial masyarakat. Hal ini terlihat
dari UU PT No. 40 tahun 2007, yakni pasal 74 ayat 1 yang menyatakan perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan tangung jawab sosial dan lingkungannya. Ayat 2
berbunyi; tanggung jawab social dan lingkungan itu merupakan kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3
menyatakan; perseroan yang tidak melaksanaan kewajiban sebagaimana pasal 1
dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Disamping itu sektor swasta juga, melalui kadin mengharapkan CSR hanya
untuk perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam yang unrenewable (tidak
dapat diperbaharui), dan pihak swasta memberikan tawaran lainnya berupa
permintaan pemotongan pajak. Perbedaan visi pemerintah dan pihak swasta ini
dapat dimaklumi, mengingat pemerintah memiliki kepentingan pada akselerasi
pembangunan yang mungkin ingin lebih cepat serta untuk mempertahankan kualitas
lingkungan yang belakangan pula banyak disoroti pihak luar negeri dan LSM.
Kekhawatiran yang muncul dapat dimaklumi mengingat sektor swasta terkait dengan
para stakeholder yang mungkin memiliki cara pandang berbeda terhadap
penerapan CSR serta kepentingan para stakeholder yang dapat pula berbeda.
Konsep CSR mulai dipopulerkan pada tahun 1953 dengan terbitnya buku
berjudul “Social Responsibilities of the Businessman” oleh Howard R. Bowen,
yang periode selanjutnya isu-isu CSR terus berkembang pada tahun 1960-an yang
dilandasi oleh permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan yang mulai mendapat
perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Pada KTT Bumi (Earth Summit),
tahun 1992 di Rio De Janeiro ditegaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup,
pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Tahun 2002
pada “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” di Yohannesburg,
Afrika Selatan memunculkan konsep Social Responsibility, yang mengiringi
dua konsep sebelumnya yaitu Economic and Environment Sustainability.
Terlebih lagi pada tahun 2010 direncanakan akan diberlakukannya sertifikasi ISO
26000 mengenai Guidance on Social Responsibility, yang mencakup 7
isu pokok yaitu:
(a) Pengembangan Masyarakat
(b) Konsumen
(c) Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
(d) Lingkungan
(e) Ketenagakerjaan
(f) Hak asasi manusia
(g) Organizational Governance (tatakelola organisasi)
Beberapa definisi mengenai CSR (tanggungjawab social perusahaan)
disampaikan oleh beberapa lembaga dunia dan local, diantaranya adalah menurut
world bank yang mendefinisikan sebagai berikut :
“The
commitment of business to contribute to sustainable economic development
working with employees and their representatives the local community and
society at large to improve the quality of life, in ways that are both good for
business and good for development. ”.
Sementara itu The World Business Council for Sustainable Development
mendefinisikan CSR sebagai berikut :
“Continuing
commitment by business to behave ethically and contribute to economic
development while improving the quality of life of the workforce and their
families as well as of the local community at large.”
Lingkar
Studi CSR Indonesia, menyatakan bahwa CSR adalah :
“Upaya sungguh sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan
memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan
dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan ”
Definsi CSR lain adalah yang dikutip Agatha dari buku Holme & Watts,
2000, yang berjudul “Corporate Social Responsibility : Making Good
Business Sense”. dalam kutipan tersebut CSR di definisikan sebagai suatu
komitmen yang berkelanjutan oleh para pembisnis untuk berperilaku etis dan
memberi kontribusi pada pengembangan ekonomi, bahkan meningkatkan kualitas
hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana hal nya pada komunitas
lokal dan masyarakat secara lebih luas.
the European
Commission’s Directorate-General for Enterprise and Industry, mendefinisikan CSR sebagai berikut:
“A concept
whereby companies integrate social and environmental concerns in their business
operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary
basis”.
Dari beberapa definisi di atas, minimal ada tiga hal utama yang menjadi
pokok dari CSR yaitu :
(a) Merupakan komitmen yang berkelanjutan dari perusahaan
(b) Kepedulian dan tindakan social
(c) Ada benefit yang dapat diperoleh perushaan.
Pada banyak literature mengenai CSR, tidak disebutkan bahwa CSR hanya untuk
perusahaan yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam saja, namun CSR
adalah merupakan bagian dari kegiatan perusahaan dalam membangun citra
perusahaan (Building image). CSR dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan
manfaat jangka panjang bagi perusahaan berupa kepercayaan dan loyalitas customers.
Dengan kegiatan CSR sedemikian rupa, diharapkan customers dapat
memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing perusahaan, apakah perusahaan
tersebut listing di bursa saham atau tidak. Implementasi CSR diperusahaan tidak
akan berjalan dengan baik manakala implementasinya berseberangan dengan
kepentingan para stakeholder. Implementasi CSR, bagi stakeholder diharapkan
tidak mengurangi kepentingannya, seperti stockholder misalnya, tentunya tidak
menginginkan laba perusahaan berkurang karena dikurangi oleh biaya implementasi
CSR.
Vittorio
Colao, Chief Executive Officer of Vodafone Group Plc, mengatakan:
"Conducting
business in a responsible manner is essential to the long-term commercial
success of every business."
Untuk itu pelaksanaan CSR di sektor swasta dimungkinkan akan menghadapi
kendala-kendala, terutama manakala terjadi perbedaan persepsi antara manajemen
dengan stakeholders, khususnya pemegang saham. Namun demikian
mempersamakan persepsi dan kepentingan secara terstruktur dan jelas,
serta benefit jangka panjang yang dikalkulasi secara tepat, dapat mengurangi
gap kepentingan antara manajemen dan pemegang saham.
Permasalahan perusahaan dengan masyarakat, berupa aksi perusakan asset
perusahaan, serta demo karyawan terhadap perusahaan, dapat dijadikan sebagai
salah satu parameter mengenai pelaksanaan tanggungjawab social perusahaan.
Perusahaan-perusahan yang telah mengintegrasikan implementasi CSR dalam
budaya perusahaannya (Corporate culture) terbukti mendapatkan apresiasi
yang baik dari masyarakat sekitar dan dari para karyawannya, serta mendapatkan
kepercayaan dan loyalitas customer yang lebih tinggi. Walaupun kepercayaan dan
loyalitas ini diperoleh dengan investasi yang tidak sedikit dan dalam jangka
panjang benefit tersebut baru dapat dirasakan. Dengan demikian CSR merupakan
suatu bagian dari Good corporate governance yang menganggap
lingkungan, masyarakat dan karyawan sebagai suatu kontributor dalam
mempertahankan kelangsungan perusahaan.
3. Pembangunan Lingkungan
Pembangunan
lingkungan seringkali bertubrukan dengan kepentingan ekonomi, yang berdampak
pada rusaknya lingkungan berupa penurunan kualitas udara, penurunan kualitas
air, penurunan kualitas tanah dan lain-lain. Entitas Pengusaha tentu berharap
aset yang dimiliki akan memberikan keuntungan yang maksimum, dan berharap pula
bahwa biaya produksi dapat seefisien mungkin. Kualitas lingkungan bagi banyak
perusahaan menjadi prioritas kesekian, yang pada akhirnya terjadi kerusakan
atau penurunan kualitas lingkungan.
Paradigma
pembangunan berkelanjutan seolah menjadi suatu wacana yang tak kunjung
terlaksana. Pembangunan berkelanjutan dimaksud merupakan konsepsi yang telah
dikumandangkan cukup lama. Secara implisit, hasil KTT Perserikatan
Bangsa-bangsa di Rie de janeiro pada tahun 1992 bahwa model Pembangunan
berkelanjutan mencakup bagaimana generasi yang akan datang memperoleh manfaat
lingkungan yang sama dengan masa kini. Prinsip pembangunan berkelanjutan
tersebut dapat dijadikan parameter dalam melihat sejauhmana kebijakan
pembangunan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Pada tinkat
pemerintahan daerah, perizinan suatu usaha produksi (manufaktur) dan jasa
tentunya melalui prosedur yang ketat terutama amdal. Namun demikian sering kali
pada tahap pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu contoh
perizinan untuk ruang kantor (Ruko), banyak dijumpai ruko-ruko yang seluruh
areanya terpakai untuk gedung dan parkir, tanpa ada ruang terbuka hijau,
padahal dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, nomor 05/PRT/M/2008, harus
disediakan ruang terbuka hijau privat 10%.
4. Model Kemitraan
Berdasarkan pada konsep PPP, CSR dan Pengembangan lingkungan maka terdapat berbagai model kemitraan yang dapat dilakukan. Diantaranya :
a)
Pemerintah daerah selaku pemegang
kebijakan pembangunan di daerah mensosialisasikan ruang-ruang yang dapat dilakukan
CSR dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan.
b)
Kegiatan CSR
perusahaan dapat diarahkan pada peningkatan objek yang
disampaikan Pemerintah daerah.
Beberapa asumsi untuk
melakukan ini adalah :
a)
Pemerintah
memiliki data kondisi lingkungan yang valid.
b)
Pihak Swasta
memiliki kemauan dalam mengimplementasikan CSR pada bidang pembangunan
lingkungan di daerah.
c)
Adanya
sinkronisasi data yang dimiliki Pemerintah Daerah dengan pihak Swasta yang akan
melakukan program CSR.
d)
Secara
berlanjut perkembangan hasil dari program CSR ini di monitor oleh pemerintah
daerah sehingga pemerintah daerah memiliki data aktual tentang kondisi lingkungannya.
e)
Tidak selalu
program CSR itu dilakukan oleh Perusahaan berskala besar, dan tidak selalu
harus perusahaan manufaktur, perusahaan jasa seperti perhotelan, perdagangan,
lembaga pendidikan dan lain-lain perlu didorong untuk mengimplementasikan
CSRnya.
Berdasarkan asumsi bahwa kemitraan ini (PPP) akan berlangsung dalam jangka
waktu yang panjang maka, diperlukan suatu lembaga yang mampu menyediakan data
secara valid/ril serta mensosialisasikannya kepada stakeholder dalam PPP ini.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan
diantaranya adalah :
a)
Model
Kemitraan yang umum dilakukan adalah model kemitraan dalam pembangunan
lingkungan hidup.
b)
Pihak
Pemerintah daerah dan Swasta dapat membentuk model kemitraan khusus untuk Pembangunan
lingkungan di daerah melalui implementasi
CSR.
Untuk menindaklanjuti dari PPP dalam pembangunan
lingkungan melalui Program CSR perlu
dibentuk suatu lembaga yang secara serius dan inten melakukan kajian-kajian lingkungan
di daerah- daerah dan memonitoring serta
mengevaluasi implementasi kemitraan ini.
BAB III
PENUTUP
Adanya
keterbatasan dan ketimpangan baik potensi maupun sumber daya yang dimiliki oleh
pemerintah daerah, mensyaratkan pemerintah daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota
untuk menggali potensi daerahnya melalui pengembangan kerjasama kemitraan
strategis baik itu antar daerah maupun dengan badan usaha daerah (BUMD), swasta
dan masyarakat.
Terdapat
beberapa dasar pertimbangan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam rangka
mengembangkan kerjasama kemitraan strategis antar daerah, BUMD, swasta dan
masyarakat, yaitu antara lain:
a)
Efisiensi dan kualitas; kerjasama
kemitraan merupakan sarana dalam rangka meningkatkan efisiensi dan peningkatan
kualitas pelayanan (service delivery) publik kepada masyarakat. Persyaratan ini
menjadi sangat penting manakala kemitraan yang dibangun adalah dengan pihak
swasta melalui penyertaan modal ataupun bentuk kontrak (contracting out);
b)
Efektivitas; setiap organisasi dalam
rangka mencapai tujuannya dituntut untuk mencapai sasaran yang ditetapkan
semaksimal mungkin (efektif) dan dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin
(efisien). Namun demikian seringkali suatu organisasi tidak mampu mencapai
tujuannya secara efektif karena berbagai dinamika internal yang sering
memunculkan resistensi. Dinamika internal ini cenderung mematikan kreativitas
organisasi. Dalam hal ini organisasi dihadapkan pada monitoring dan
pengendalian terhadap dinamika internal untuk mencegah terganggunya pencapaian
tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Untuk meningkatkan kemampuan
monitoringini suatu organisasi perlu mendelegasikan pekerjaan pada pihak lain
dalam suatu sistem kontrak. Dengan sistem kontrak ini, pemilik akan lebih mudah
mengontrol hasil pekerjaan sebagaimana yang diharapkan sehingga hasil yang
diinginkan bisa tercapai secara efektif;
c)
Memacu dinamika organisasi; dengan
membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi mitra kerjasama pemerintah
maka hal ini akan membuka peluang usaha lebih banyak bagi masyarakat.
Sebagaimana diketahui jumlah pengeluaran pemerintah merupakan bagian yang
sangat besar dalam kehidupan ekonomi nasional. Apabila jumlah uang tersebut
dialirkan ke swasta atau masyarakat maka ini akan memacu pertumbuhan dinamika kehidupan
sosial ekonomi masyarakat;
d)
Berbagi resiko dan keuntungan (risk
and benefit sharing); setiap kegiatan selalu membawa resiko. Dengan Kerjasama
yang dibangun dengan pihak lain maka diharapkan resiko yang akan terjadi dapat
dibagi rata (risk sharing) dengan pihak mitranya.
PUSTAKA
Agatha Ferijani, http://www.pascafe.ui.ac.id/files/compile_abstrak_DJM3_2008.pdf
Indra Surya,
SH.LLM, dan Ivan Yustiavandana,SH.LLM, 2006,”Penerapan Good Corporate
Governance”, Prenada Media Group, Jakarta, Indonesia.
Jalal dan
Reza Ramayana, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) serta Kemitraan Tiga
Sektor (tri-sector partnership) untuk Pembangunan Berkelanjutan di
Kabupaten-Kabupaten di Madura, Lingkar Studi CSR, A+ CSR Indonesia
Peter Wright
Mark J. Kroll John A Parnel, 1998, Strategic Management (Concepts and Case) 4th
Edition, Prentice Hall Int L Inc USA
The
Corporate Social Responsibility (CSR) web-pages of the European Commission’s
Directorate-General for Enterprise and Industry, www.ec.europa.eu
www. Republika.co.id, Senin, 30
Mei 2005
Website
Dinas Perindustrian & Perdagangan Jawa Barat Rubrik : PUBLIKASI [News]
Etika Bisnis, Corporate Social Responsibility (CSR), dan PPM 27 Nov 2002 00:00
Warta Bapeda Jabar, www.bapeda-jabar.go.id
www.ginandjar.com
sektor mana yang paling cocok untuk KPS?
BalasHapus